Kamis, 21 April 2011

3 KOTA 1 ANTOLOGI 1001 MAKNA

Hary Soedarto Harjono*

Berkumpul bersama adalah permulaan, tetap bersama adalah kemajuan, dan bekerja bersama adalah keberhasilan. Pernyataan Henry Ford ini agaknya tepat mewakili kerja kolaborasi 3 dukun kata dari 3 kota yang menghasilkan antologi sajak 3 di Hati. Jika mengintip latar historis terciptanya antologi ini yang tidak dapat dilepaskan dari atmosfir ‘negeri gurindam” tempat masyhurnya nasihat-nasihat Raja Ali Haji yang bernafaskan Melayu dan Islam, maka aura sastra klasik itu —  setidaknya atmosfir syair, pantun, atau gurindam dan nilai-nilai Islam — dapat diduga mewarnai sajak-sajak yang terhimpun di dalamnya. Meskipun sudah barang tentu penyair juga melakukan transformasi  estetika dan nilai-nilai tersebut dalam proses penciptaan sehingga dihasilkan sajak-sajak universal yang ‘melesat’ meninggalkan lingkungan fisik, sosial, psikologi, dan budayanya.

Antologi 3 di Hati, tiga “djiwa” dalam satu hati, sejatinya mengguratkan tiga dimensi pewarnaan sajak yang berbeda intensitasnya: merah, kuning, dan hijau, warna pelangi (bukan warna PDI-P, Golkar, dan PPP). Sajak-sajak Dimas Arika Mihardja lebih memerah, penuh semangat  ‘memanen senja/melukis bianglala di dada’, yang dengan elan vital menyala-nyala ‘menatah sajak emas di beranda’ menebar ‘mantra kamasutra’.  Sementara sajak-sajak D. Kemalawati (Deknong) lebih menguning, menyuarakan ‘isyarat tentang berbagai alamat dunia dan akhirat’ dengan bahasa yang lebih lugas, yang menurut Dimas lebih ‘berpijak di bumi/melukis cakrawala saat laut dan langit bertaut’ (‘Tiga Dimensi’). Sedangkan sajak-sajak Diah Hadaning (Diha) lebih kontemplatif menghijau, sejuk, hening dan teduh, serupa ‘kearifan pelangi’. Tema-tema demikian ini secara eksplisit terimplisitkan dari sajak-sajak seperti dalam “Semak Bakau yang Menyapa dalam Diam”, “Perempuan-perempuan Pulau Sunyi”, “Hujan Oktober dan Gurindam Hati”, “Teratak Kecil di Pulau Sunyi”, dan “Intan dari Pulau Sunyi”.

Ketiga dimensi itu menghadirkan sajak-sajak yang ‘merah kuning hijau’ yang lengkap, tidak saja menggantung ‘di langit yang biru’, melainkan juga mendarat di bumi yang pekat. Dengan kata lain, komposisi warna pelangi ini dapat dikatakan merepresentasikan cita rasa artistik para penciptanya, yang membumi dan melangit.  Di dalamnya ada nuansa lirik yang personal, nuansa kemanusiaan, nuansa sosial, dan juga religiusitas yang kesemuanya mengajak pembaca menikmati, merenung, dan memaknai sajak sesuai dengan latar pengetahuan, pengalaman, dan cakrawala harapan masing-masing. Dengan kata lain, 1001 makna dapat didedahkan dari antologi ini sesuai dengan perspektif pemaknaan pembacanya.

Sajak-sajak Diha dalam antologi ini amat kental dengan nuansa esoteris melalui penyelisikan hakikat yang diangkat dari alam kosmos dan tema-tema hidup keseharian yang direnung-renungkan, dihayati dengan sepenuh-penuh perasaan (dengan tidak begitu hirau pada logika), dan diungkapkan dengan bahasa yang padat. Yang menarik, penyair perempuan pemegang rekor MURI yang menerbitkan kumpulan sajak paling tebal (700 halaman) dalam usia paling senior (70 tahun) , yang juga dikenal dengan sajak-sajak kejawen ini seperti dirasuki roh Melayu, atau setidaknya terpanggil, terusik, ‘terganggu’ batin dan jiwanya untuk hanyut dalam ekstase di lautan estetika dan nilai-nilai Melayu Lama. Misalnya terlihat dalam ‘Semak Bakau yang Menyapa dalam Diam’:

semak bakau
semak pulau
menyapa sukma
dalam bahasa purba:
simak akarku       
dengan mata batin, tuturnya.

Dalam kutipan sajak tersebut terdapat variasi permainan bunyi yang kuat dan khas syair Melayu, yang mengisyaratkan adanya keinginan yang kuat untuk menggali esensi sampai ke akar-akarnya. Begitu juga dalam ‘kisah reraja Batak/tak usai disibak-sibak’ (‘Memandang Pulau Penyengat dari Seberang’), ‘orang-orang dari seberang/ datang bertandang/ ada syair ada dendang/ diusung rasa senang’ (Perempuan-perempuan Jilbab Kuning), dan lebih jelas lagi modifikasi nuansa gurindam yang terintegrasikan dalam ‘Hujan Oktober dan Gurindam Hati:

hujan membisik pelan
gurindam pasal empat:
hati itu kerajaan di dalam tubuh
jikalau zolim segala anggota pun rubuh.

Begitulah, roh sebagian petuah Melayu yang Islami dari Raja Ali Haji dalam Gurindam 12 merasuki jasad dan jiwa sajak ini, yang selanjutnya dipertegas dengan gubahan pernyataan sikap penyair sendiri berdasarkan pengalaman hidup yang panjang bergumul dengan kata: ‘dalam kata adalah kekuatan/ dalam kata adalah perbuatan’.  Tidak hanya itu, dalam ‘Membaca Angin Anjung Cahaya’ roh syair dan pantun Melayu juga merasuki jasad sajak ini, yang sekaligus mengisyaratkan kekaguman dan keinginan,  serta keterbukaan dan kesadaran penyair pada daya magis alam pikir, rasa, dan estetika Melayu.

Kekaguman dan keinginan penyair itu tersirat dari ‘umbai-umbai menyimpan anggun/ aku semakin ngungun’. Untuk mengejar kesesuaian bunyi, secara kreatif digunakan diksi dari khazanah bahasa Jawa ngungun. Juga dalam ‘Membaca Wajah-wajah’: ‘aku ingin mencium wangi/ aroma syair kearifan’. Keterbukaan dan kesadaran untuk menerima dengan suka cita tercermin dari: segenap hati tengah bersuka/ membangun keajaiban dunia kata’ (‘Membaca Angin Anjung Cahaya’). Ini semakin memperlihatkan bahwa Sang Pencari berupaya  menyelami khazanah pemikiran dan estetika Melayu dalam memperkaya pengalaman batin dan pengungkapan sajak-sajaknya. Dengan kata lain, ada upaya penyair dalam pencarian kali ini untuk melakukan transformasi dan revitalisasi nilai-nilai Melayu (lama) menjadi sajak-sajak kini yang lebih longgar secara fisik dengan metafor yang khas tetapi padat dalam penyampaian pesan. Penggunaan diksi Melayu seperti ‘tuan’, ‘puan’, ‘reraja’, ‘rebana’, ‘barzanji’, ‘pompong’, ‘tongkang’, dan juga pengungkapan ritmis seperti ‘zikirnya memantik hati/ lusa selalu bisa ditata kembali’, serta persajakan yang kaya dengan permainan bunyi khas syair dan pantun (meskipun tidak secara utuh), dan roh gurindam menjadi warna dominan sajak-sajak Diha yang hening tetapi menyimpan 1001 makna dalam antologi ini.

Berbeda warna dengan sajak-sajak Diha, sajak-sajak Dimas menampung berbagai tema kaya nuansa yang diungkapkan dengan bahasa yang lebih lentur, cair dan kadang sangat transparan layaknya prosa pendek. Misalnya terdapat dalam ‘Kisah Pagi Sehabis Hujan’, yang merupakan representasi konkret pergulatan psiko-religi-eksistensial  penyair dalam dunia kepenyairannya. Dalam sajak ini penyair terlibat dalam monolog pergulatan batin yang berat dan berlarat-larat. Di satu pihak, interpretasi kalangan tertentu dari perspektif agama (Islam) secara tegas menyatakan bahwa penyair (tertentu) sangat dibenci dan dilaknat oleh Tuhan karena biasanya hanya ‘mengatakan sesuatu yang tak pernah dilakukannya/ ia melukis cinta, tetapi dengan pakaian dusta/ Ia menyatakan setia, namun seperti domba berbulu serigala’, bukan sebaliknya.  Di pihak lain, dunia kepenyairan, ‘negeri kata-kata’ sudah menjadi pilihan hidup bagi Dimas, dan juga dua D lainnya, Diha dan Deknong. Penyair dalam hal ini dihadapkan pada situasi yang dilematis.

Pada akhirnya pergulatan batin itu dimenangkan oleh Dimas dengan penyikapan reflektif yang merunduk dan arif: ‘Ya, Allah ampunilah khilaf dan salahku/ Jadikan aku kupu-kupu di atas aroma bunga/  Jadikan aku sayap-sayap laron yang tanggal saat mengecup lampu/ Maafkan segala kata dan cintaku/ Sungguh di hadapan-Mu aku hanyalah serpihan debu’. Sebuah ungkapan kepasrahan yang mencerminkan sikap religiusitas penyair, yang mengisyaratkan juga pengakuan atas transendensi kekuasaan Allah yang demikian untouchable, tak tersentuh, tak terbatas — yang dipertegas lagi dengan ungkapan ‘aku lenyap saat Kauhapus jejak debu di Terompah-Mu’. Juga, ungkapan senada dalam ‘Esok Hari Saat Mentari Meninggi’: lalu kembali luruh sedalam simpuh, yang semakin mengekalkan ketidakberdayaan penyair di hadapan Sang Khalik.

Pada sajaknya yang lain Dimas mengurai dimensi mata, detak djiwa, dan hati, yang sejatinya mengisyaratkan visi penyair dalam pergumulannya dengan dunia kata dan kesesuaian pandangannya dengan penyair lain (khususnya Diha dan Deknong), meskipun disadari bahwa yang melandasi kesesuaian itu adalah adanya perbedaan yang diibaratkan seperti bumi, laut, dan langit atau simbol lain serupa pelangi (bianglala). Dalam simbolisme ini dimensi mata dapat dimaknai memberikan arah, petunjuk, penerang, yang menuntun dalam penciptaan. Dimensi detak djiwa melambangkan jejak langkah spiritual, puja puji dan kerinduan penyair pada Yang Maha Kasih: ‘tak lelah kulidahkan bahasa sajadah/ menautkan jemari rindu yang rindang/ lalu kuronce jadi qasidah yang indah/ mengabadikan percintaan’ yang dalam konsep mistis Jawa barangkali ungkapan ini sejiwa dengan upaya-upaya penyatuan diri dengan Tuhan (manunggaling kawulo lan Gusti).  Selanjutnya, dalam dimensi hati semangat kebersamaan itu mengkristal menjadi sinergi: ‘aku perahu dan engkau kemudi/ maka berlayarlah kita/ bersama dalam badai dan damai’, yang diperkuat lagi dalam ungkapan bait berikutnya: ‘engkau orkestra simphoni di beranda hati/ kita bersama melangitkan jutaan merpati’. Dengan sinergi kolektif seperti inilah, maka dunia kata, dunia kepenyairan—meskipun berada ‘di dermaga paling sunyi’ dapat dihidupkan, diberi roh untuk tetap ‘abadi di hati’ sehingga sanggup menggerakkan mata dan tangan untuk ‘membaca bianglala dan melukis pelangi’.

Dimensi lain yang juga mengemuka dalam sajak-sajak Dimas dalam antologi ini adalah kesaksiannya pada kenestapaan orang lain, misalnya dalam ‘Sajak Mentawai’, ‘Meratapi Merapi’, ‘Air Mata Doa: untuk Mbah Maridjan’, ‘Kalkulasi Tragedi’, ‘Puisi Tragedi’, dan ‘Gempa 9,9 Skala Richter’. Kecuali dalam ‘Gempa 9,9 Skala Richter’ yang secara eksplisit menyarankan penyikapan untuk  berserah diri kepada yang Maha Berkuasa: ‘sebelum benarbenar tiarap di kedalaman dekap-Mu’, dalam sajak-sajak tragedi yang lain Dimas lebih nyaman memposisikan sebagai narator, misalnya dalam ‘Sajak Mentawai’:

dengar teriak ombak yang bangkit menggulung pantai
muaro
malin kundang digulung gelombang
dan orangorang berteriak tsunami:
suami istri itu pun mati

Begitu juga dalam ‘Meratapi Merapi’: ‘di tengah sawah berarak wedhus gembel/ menyapu rumputan/ berlarian di lapak yang sesak isak’, dan juga dalam ‘Air Mata Doa’: ‘mbah Maridjan/ pengabdianmu sebagai abdi/ lunas di tangan juru kunci’, atau dalam ‘Puisi Tragedi’: ‘sebelah sayapku patah lagi, ayah/ hujan tumpah’. Pada sajak-sajak seperti ini Dimas cenderung menyerahkan sepenuhnya interpretasi dan tanggapan kepada pembaca secara netral tanpa mendampinginya dengan ungkapan-ungkapan lain yang memancing keterlibatan dan empati seperti yang dilakukan oleh D. Kemalawati dalam ‘Siapakah Kau Setelah Erupsi’: ‘lalu siapakah engkau kini/ yang sebelum erupsi/ mengirimkan aku cinta petani/ pada sajak padi merunduk hati’. Lebih jelas lagi perbedaan itu terlihat dari penyikapan D. Kemalawati dalam sajak tragedi pasca-Tsunami Aceh 2005 yang diekspresikan dalam ‘Dahaga Laut’: ‘biarkan kami mendekat/ memungut kayu-kayu yang berserakan/ untuk tiang gubuk kami yang baru’. Dengan perbandingan ini dapat diindikasikan bahwa terhadap persoalan yang sama (tragedi), intensitas penyikapan penyair bisa berbeda.  Perbedaan ini justru memperkaya dan pada taraf tertentu saling melengkapi. Perbedaan itu mungkin disebabkan karena kepekaan psikologis, empati, gender, dan mungkin juga perbedaan keterlibatan dalam persoalan (langsung atau tidak).

Selebihnya, sajak-sajak D. Kemalawati dalam antologi ini lebih dominan diwarnai kegelisahan psikologis, relasi antarmanusia yang bisa mendatangkan duka, suka, dan penjelajahan spiritual yang salah satu manifestasi bentuknya adalah kerinduan pada Tuhan. Dalam ‘Sebelum Jejakmu Raib’, relasi antarmanusia yang mendatangkan disharmoni dan kekecewaan itu diekspresikan secara tegas oleh penyair. Segala yang dilakukan oleh aku lirik serba salah, tidak pernah dihargai: ‘setelah garasi dipenuhi cermin/ jejakmu raib entah kemana’. Warna serupa tercermin dari sajak ‘Setelah Kerelaan Kau Abaikan’: ‘apakah artinya kerelaanku terkurung dalam/ sangkarmu/ sedang pintu telah terbuka dan kau menjauh pergi’. Namun, dalam menghadapi situasi seperti itu Deknong menunjukkan ketegaran dan kedewasaannya, seperti tersirat dari ungkapan ‘kutahu dan sungguh aku tak mau/ kepergianmu/ menguburkan seluruh bait puisiku’. Lebih tegas lagi, kedewasaan penyikapan menghadapi persoalan itu terungkap dalam sajak ‘Keyakinanku’:

biar semua pintu terkunci
biar semua dentang tak berbunyi
biar semua kelam menuju pekat
tak kubiarkan hati ini mengubah arah
kau lah langitku
tempat asal seluruh cahaya menyatu

Terlepas dari tema yang diangkatnya, yang menarik dan menonjol dalam sajak-sajak D. Kemalawati dalam antologi ini adalah berkelebatnya imaji-imaji ‘liar’ yang telah dijinakkan sehingga menjadi metafor unik yang sanggup menghidupkan dan menguatkan ungkapan-ungkapannya. Misalnya, dalam ‘telah kugeraikan rambutku/ hingga pucuk-pucuk cemara merunduk malu’ atau ‘sekarang lidah laut sedang menjilati jejakku’ (Tarian Pelangi). Demikian juga dalam ungkapan ‘tapi akupun serupa gunung yang menjulang’ (Setelah Kerelaan Kau Abaikan), ‘berpacu binal riakku’ (Aku Rapuh Tanpa Karangku), dan dalam sajak ‘Izinkan Aku Ibu’ yang sarat kandungan metafor serupa, misalnya ‘Ibu, izinkan aku berteduh di rimbun daun hutanmu’, ‘…basahi parit jiwaku’, ‘..palung kalbuku’, ‘agar kristal keringat duniawi/ tak membeku di dada’, ‘menggigil bagai pucuk kuyup diterpa angin/ bentangkan selimut semestamu’.

Lebih eksplisit lagi, metafor liar itu berkeliaran dalam sajak ‘Kangen’: kalau kangenku makin membara/ tak cukup lautan kata/ meredamnya/ maka berikan aku sebilah rencong/ untuk kutikam di dada hampa’. Selain itu, dalam sajak-sajak yang bernafaskan penjelajahan spiritual pun dijalin dengan metafor-metafor seperti itu dengan menggunakan simbolisme persetubuhan, kerinduan (kangen) pada kekasih, atau makam, seperti yang secara eksplisit diungkapkan dalam ‘Kangenku’, ‘Kangen Menujumu’, ‘Ruang Diri’, atau ‘Pagi di Cengkareng’.  Metafor seperti ini — meskipun telah secara intens dijelajahi juga oleh Amir Hamzah dalam kumpulan sajaknya Nyanyi Sunyi atau Rendra dalam Nyanyian Angsa-nya, namun tetap tidak menghilangkan kesan bahwa metafor yang digunakan D. Kemalawati pada konteks ini memiliki keunikan tersendiri yang berbeda dari para pendahulunya itu.

Demikianlah, memungkasi tulisan ini perlu saya ingatkan bahwa yang tersaji di sini hanya serpihan-serpihan pemaknaan impulsif terhadap sepilihan sajak yang pertimbangan, cara kerja, dan pendekatannya sangat subjektif dan jauh dari ilmiah. Ini hanya salah satu kemungkinan pemaknaan yang sudah barang tentu menyisakan ribuan bahkan jutaan kemungkinan pemaknaan lain yang lebih menarik dan mencerahkan.  Akhirnya, terpaksa harus saya sudahi tulisan ini karena tiba-tiba saya teringat ancaman dari gurindam Raja Ali Haji: apabila banyak berkata-kata/ di situlah jalan masuk dusta.***

*) Hary Soedarto Harjono (Hary S. Haryono) adalah staf pengajar pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di FKIP Universitas Jambi dan Program Magister Pendidikan Pascasarjana Universitas Jambi; kertas kerja ini disajikan dalam acara DIALOG SASTRA DAN TEMU PENYAIR 3 KOTA (Jakarta, Jambi, Aceh) di Aula Rektorat Lt. III Kampus Universitas Jambi, Mendalo Darat,Jambi 22 Maret 2011, pukul 08.30-selesai.

DUA SAJAK TENTANG KARTINI, SEBUAH PERBANDINGAN


Catatan Dimas Arika Mihardja

Pengantar:

Bukan sebuah kebetulan terhadap sosok Raden Ajeng Kartini melahirkan banyak interpretasi. Bagaimanakah "pembacaan" sosok Kartini oleh dua orang penyair berjenis kelamin berbeda, berbeda etnis, dan berbeda suasana? Tulisan sederhana ini bermaksud menyandingbandingkan dua sajak, yakni "Ketika Kartini Berkunjung ke Aceh" (D Kemalawati, Banda Aceh) dan "Ketika Kartini Tak Singgah ke Sekolah" (Ardi Nugroho, Sidoarjo). Kita sandingbandingkan dulu kedua sajak itu.

Ketika Kartini Berkunjung Ke Aceh
(D Kemalawati, Banda Aceh)

Ia memakai kebaya ungu
Sanggul melati dan slop berhak tinggi
Di tangannya pena emas dan sehelai perangko

Ia mengajak Cut Nyak Dien semeja di pendapa
Dari belantara Cut Nyak Dien mengirim aba-aba
Ia butuh senjata menikam serigala.

Banda Aceh, 21 April 2006 
(KEMALA, Meditasi Dampak70, 293)

KETIKA KARTINI TAK SINGGAH KE SEKOLAH
 (Ardi Nugroho, Sidoarjo)

melintas Jembatan Porong
anak perempuan dekil bernyanyi lagu ala kadar
tangannya bergoyang mainkan kencringan
mimiknya lucu hidungnya ingusan
suaranya pecah, menambah ruwet perempatan dekat lampu merah
namun sorot matanya selipkan kerinduan
yang teramat panjang

memasuki Pasar Larangan
perempuan muda membaca sajak dari lapak ke lapak
wajah melonnya berbinar menangkap matamata liar
gerak tubuhnya menggambar jerat keterpaksaan
dan lagilagi terselip kerinduan
yang panjang

di gerbang kedatangan Bandara Juanda
perempuan setengah baya berkacamata hitam
celana ketat string, kaos singlet bergambar durian
rambut rebonding depan, keriting kiri kanan
berasesori headset setia rojer merojer bro dan sist
lambaian tangannya lukiskan kebebasan
dari senyumnya, tetap tertangkap kerinduan
yang teramat panjang

di ruang kelas enam, esde Kecamatan Waru
perempuan tua berkacamata baca
membuka ensiklopedi kehidupan
mencari makna arti kerinduan
yang teramat panjang!

Sidoarjo, 21 April 2011


Sangat lama saya digoda oleh sebiji sajak karya D.Kemalawati bertajuk "Ketika Kartini Berkunjung ke Aceh". Sajak ini terus-menerus meneror pikiran saya. Akibatnya, begitu mas Ardi Nugroho meminta sebuah judul untuk puisi yang digubahnya, saya tak sengaja (dan mungkin akibat teror sajak D. kemalawati) saya menyumbangkan judul puisi Mas Ardi Nugroho "Ketika Kartini Tak Singgah ke Sekolah". Celakanya, atau beruntungnya, mas Ardi Nugroho menerima judul puisi yang kusumbangkan. Lantaran kedua sajak ini meneror pikiran, saya lantas tertantang untuk menyanding-bandingkan kedua sajak ini dengan pertanyaan utama: "bagaimana dua penyair berbeda gender, etnis, dan letak geografis menafsirkan sosok Kartini?"

Sajak gubahan D. Kemalawati tampil dalam bentuk dua bait seuntai, sedangkan sajak gubahan mas Ardi Nugroho hadir dalam eujud empat bait seuntai. Kedua sajak sama-sama tampil dalam bait yang genap dan keduanya tentu saja merupakan reinterpretasi terhadap sepak terjang Kartini. Saat Kartini berkunjung ke Aceh (pada suatu masa, entah kapan itu terjadi, mungkin hanya di dunia fantasi dan imajinasi penyair), orang-orang Aceh, paling tidak diwakili oleh sosok D. Kemalawati lebih mengemukakan sikap "berjaga-jaga" atau "siaga". Sikap berjaga-jaga atau siaga (dengan rencong) yang secara tegas dinyatakan pada pamungkas sajaknya : "Ia butuh senjata untuk menikam serigala". Di awal sajaknya, penyair D.Kemalawati dengan piawai mendeskripsikan sosok Kartini melalui simbol-simbol yang melekat pada kedirian dan pribadi Kartini, seperti ini:

Ia memakai kebaya ungu
Sanggul melati dan slop berhak tinggi
Di tangannya pena emas dan sehelai perangko

 Kata "kebaya ungu", "anggul melati", "selop berhak tinggi", "pena emas", dan "perangko" semuanya merupkan simbol yang secara jitu dipilih dan dikenakan untuk sosok Kartini. Dengan simbol-simbol itu (lantaran simbol itu dipakai untuk mewakili banyak makna) maka kepadatan sajak D.Kemalawati tampil memukau lantaran padat. Kepadatan sajak ini secara langsung menunjukkan betapa efektifnya dunia simbol mewakili entitas (termasuk realitas) yang hendak dientaskannya. Sosok kaum ningrat, terpelajar, berderajat tinggi (berhak tinggi), suka membaca dan menulis (pena emas), dan suka berkorespondensi (perangko) merupakan dunia simbol untuk merepresentasikan diri dan kepribadian Kartini. Penyair D. Kemalawati mengerti bahwa "Surat-surat Kartini" lebih banyak menunjukkan korespondensi antara Kartini dan warga bangsa Belanda. Kata "Belanda", sejak dulu dipandang "berbahaya" bagi masyarakat Aceh, oleh sebab itulah bait kedua ini lantas hadir:


Ia mengajak Cut Nyak Dien semeja di pendapa
Dari belantara Cut Nyak Dien mengirim aba-aba
Ia butuh senjata menikam serigala.

Reinterpretasi Penyair D. Kemalawati  dan sikap kritisnya sebagai generasi penerus Cut Nyak Dien masa kini, memunculkan gagasan sehingga tertuang ungkapan ini: 

Ia mengajak Cut Nyak Dien semeja di pendapa
Dari belantara Cut Nyak Dien mengirim aba-aba
Ia butuh senjata menikam serigala.

"Aba-aba" yang diberikan oleh Cut Nyak Dien untuk menyiapkan senjata itu tak lain merupakan sikap waspada, bersiaga, atau berjaga-jaga terhadap "musuh dalam selimut". Frasa "musuh dalam selimut" ini hendaklah dipahami sebab di ungkapan itu D. Kemalawati memilih simbol "serigala" (ingat ungkapan: serigala berbulu domba, ingat pula ungkapan bahwa Belanda suka sekali "adu domba" dalam menjalankan politiknya. Frame reference seperti ini lalu oleh D. Kemalawati dinyatakan agar siaga menghadapi berbagai kemungkinan yang bisa saja terjadi.

Lalu, bagaimana halnya interpretasi Ardi Nugroho terhadap sosok Kartini? Diksi "Porong" (larik 1 bait 1) yang dipadupadankan dengan kata "jembatan" sehingga tercipta "Jembatan Porong" semestinya tak hanya diartikan nama tempat di Jawa Timur. Kita bisa memaknai diksi "porong" itu sama dengan "gosong" atau "hangus". Saat melintasi jembatan di siang bolong, matahari membikin gosong anak perempuan dekil yang bernyanyi sebuah lagu ala kadar. Lagu itu seakan terdengar begini: "begini nasib perempuan jalang, ke mana-mana modal kencringan, tiada orang yang kasihan.... Reff: hati sungsang sebab tak ada yang berih uang, oo, hati meradang lantaran kebelit utang, oo, begini nasib pengamen jalanan, sepanjang jalan jadi gunjingan,tiada orang yang menyayang." Dalam bait pertama sajak Ardi Nugroho sosok Kartini masa kini (April 2011) tampil sebagai perempuan yang dekil yang mengamen di jembatan yang hangus lantaran dibakar matahari.

Sehabais menyanyikan lagu "Begini Nasib" (menurut imajinasi DAM), gadis dekil itu entah belajar dari mana menyanyikan lagu ini: Wahai ibu kita Kartini, putri dari Jepara, sungguh besar sanggulnya, panjang kukunya" lagu perempuan itu "suaranya pecah, menambah ruwet perempatan dekat lampu merah, namun sorot matanya selipkan kerinduan". Menurut pikiran perempuan dekil itu, negeri ini tak berambu dan tak berlampu sehingga keruwetanlah adanya.

Sesaat aku lirik memasuki Pasar Larangan. Nah, ini, diksi yang ajaib "Pasar Larangan" (bisa saja bursa narkoba, ganja, pil koplo, dan aneka minuman memabukkan. Cilakanya, di dalam pasar itu ada perempuan perlente, modis, bergaya, dan sableng meski samar-samar perempuan perlente (bukan lonthe lho) memiliki "kerinduan yang teramat panjang" juga. Sosok Kartini dihadirkan di tengah pasar yang penuh dengan dunia tawar-menawar, pencopetan, pemalsuan timbangan, dan bergaya serupa perempuan metropolis.

Lihatlah, di gerbang kedatangan Bandara Juanda si aku bersua perempuan berkaca mata hitam (pandangannya tentu suram atau bahkan gelap, barangkali suka gelap mata alias nekat). Perempuan berkaca mata hitam ini kayaknya jadi korban zaman. Semua kemajuan dunia salon (bukan sablon lho) dimanfaatkan sehingga bukannya keindahan yang tampil justru keberntakan. lewat bait ini penulisnya berpikir, "apakah ini hasil emansipasi Kartini?". Perempuan berkaca mata hitam ini kayanya juga menyimpan kerinduan yang teramat panjang. Apakah yang dirindui? Kebebasan berdandan? Kebebasan berpenampilan? Entahlah.

Lalu yang paling memprihatinkan ialah di ruang kelas enam esde Kecamatan Waru (nah kata "waru" ini kan bergambar daun cinta?) ada seorang guru yang keliru menafsirkan emansipasi: menyuruh anak sekolah menulis tentang Kartini dan menelantarkan anak-anaknya sendiri sehingga gagal memahami makna kehidupan. Semua itu tentulah bermuara atau menjadikan kerinduan yang teramat panjang. Kerinduan tentang apa? Tentu saja kerinduan memaknai kehidupan secara tepat, memahami hakikat emansipasi dan menerapkannya secara tepat. 

Sosok Kartini tampil beda di dua sajak gubahan D. Kemalawati (penyair perempuan berasal dari Aceh) dan sajak Ardi Nugroho (mudah-mudahan jadi penyair lelaki dari Sidoarjo, jawa Timur hehehehe). Perbedaan kedua sajak tersebut terbatas pada penampilan (perwujudan sajak) dan reinterpretasi terhadap sosok Kartini. Persamaannya, meskipun samar-samar, kedua sajak ini mengajak para pembacanya untuk bersikapwaspada, siaga, atau berjaga-jaga. Berjaga-jaga dalam hal apa? Berjaga-jaga terhadap aneka kemungkinan perubahan atau perkembangan budaya. Jika sajak D. Kemalawati penuh dengan simbol, sajak Ardi Nugroho juga memanfaatkan simbol yang digaloi dari lokalitas tempat, tetapi tempat itu hadir secara eksotik di dalam sajak seperti "Jembatan Porong","Pasar Larangan", "Gerbang kedatangan", dan "menulis Kartini bagi siswa kelas enam esde".

Perkembangan globalisasi dan perubahan tata nilai memang harus diwaspadai oleh siapa saja. Inilah saya kira moral value kedua sajak ini. Demikianlah perbandingan secara sekilas dua sajak yang sama-sama memiliki kekuatan eksspresi. Jika sajak D. Kemalawati tampil padat memikat, sajak Ardi Nugroho tampil "nakal" dan sedikit "Mbeling" gaya pengungkapannya. Kedua sajak ini, tentu saja, layak mendapat tempat di hati pembacanya masing-masing. Dengan dua sajak ini kita tak serta merta bisa memasukkannya ke dalam karya "penyair salon" yang menjadi keprihatinan Rendra (almarhum), sebab kedua sajak ini masing-masing memiliki konteks yang jelas, dan peduli pada realitas yang dijadikan pangkal tolak renungan kedua penyair.

Salam DAM, damai dalam persaudaraan
Jambi, Hari Kartini, 21 April2011.

Minggu, 13 Maret 2011

Puisi, saling Menginspirasi



Oleh D Kemalawati


Sumber inspirasi menulis puisi bisa dari mana saja. Pernyataan itu tentu tak perlu kita bantah. Menonton telivisi yang menayangkan bagaimana dahsyatnya gempa bumi melanda sebuah pulau,bagaimana bangunan bertingkat seolah menari-nari saat gempa berskala tinggi menggoyangnya, akan menjadi inspirasi bagi seorang penulis puisi untuk menuliskan syairnya. Bagaimana banjir bandang menghanyutkan gelondongan kayu dengan airnya kuning dan berat meluncur dengan kekuatan dahsyat, menghantam semua penghalang dan menghancur leburkan seluruh infrasruktur yang ada hingga nyawa manusia direnggutnya. Melihat tubuh manusia yang tergulung, berputar diantara air yang memburu kemudian tergeletak dibalut lumpur, tak bergerak, naluri penyair akan berpendar-pendar mencari kata yang tepat menggumamkan rasa dukanya.

Penyair menyampaikan semua rasa yang bergejolak di jiwanya dengan menyusun kata yang kadang menusuk para pembacanya tepat pada sasarannya. Ada penyair yang berhasil mengumpulkan kekuatan kata-kata sehingga puisinya dimaknai seperti yang dikehendaki. Tetapi tidak sedikit penyair yang mencari cara lain agar puisi-puisinya mengajak pembaca berimajinasi lebih liar dari penulisnya sendiri.

Tak ada patokan yang harus dipatuhi seorang penyair kecuali menjaga rambu-rambu seadanya selebihnya adalah rasa yang ditawarkan kepada pembaca yang kemudian dicecap oleh pikiran perasaan pembaca bahwa puisi yang dihasilkan oleh penyair tersebut mempunyai cita rasa tinggi. Dan seperti juga makanan yang enak di lidah orang yang gemar memasak, dia akan selalu terinspirasi bila memakan makanan dengan cita rasa yang belum pernah dirasa untuk memasak dengan rasa yang sama. Tentu dengan mengetahui bumbu-bumbu apa yang ada dalam racikan makan yang baru pertama dinikmatinya.

Demikian juga penyair. Dalam hal ini, saya ingin berbagi bagaimana sebuah puisi yang saya tulis membalas SMS seorang sahabat hati (meminjam istilah penyair Dimas Arika Mihardja) bapak Arsyad Indradi yang mengabarkan kepada saya tentang kebahagiaannya karna baru saja mendapat anugerah dari Allah SWT seorang cucu laki-laki. Meski bukan cucu pertama, tapi bagi sang kakek yang sastrawan Indonesia yang sangat bergiat dalam dunia maya, lewat blog Penyair Nusantara dan beberapa blog lainnya yang beliau kelola, hal ini adalah kebahagiaan yang tak cukup kata untuk melukisnya. Dan saya membalas SMS beliau dengan puisi singkat yang saya beri judul Menimang Cucu.
SMS yang terkirim itu masih saya simpan, dan saya yakin bapak Arsyad Indradi pun masih menyimpannya. Berikut saya turunkan di sini SMS tersebut.

MENIMANG CUCU
Kepada Arsyad Indradi

D Kemalawati

Setelah takbir kau perdengarkan
geliatnya kelihatan nyata
sembari mengucap syukur
kau raba detak jantungmu
menyamakan dengan denyut nadinya
sungguh waktu memberimu debar itu
sebagai jelmaan diri
kau simak tangis pertamanya
sebagai puisi berima muda
mendaratlah kasih dalam kecupan
entah telah berapa lama
kau simpan wanginya
sebelum ia dalam pelukan.

Banda Aceh, 10 Maret 2011

Setelah puisi itu terkirim ke bapak Arsyad, dan beliau membalas: “Trimakasih mba De bingkisan puisinya. Cucu pertama kedua orangtuanya teriak kaget campur kagum karena kukasih tongkat dan mahkota dewa di fotonya dan daku jadikan foto profilku di FB. Oya mba De kita berempat baca puisi di gunung wayang, nanti daku pasangkan di blog mba De.”
Demikian SMS balasan bapak Arsyad. Ya, rumoh sastra dkeumalawati tampil jauh lebih indah setelah campur tangan bapak Arsyad Indradi. Puisi- puisi yang ada di bawah rumah wayang adalah puisi SMS yang diabadikan bapak Arsyad sehingga ikatan kekerabatan dengan foto kami (Arsyad Indradi, Diah Hadaning, De kemalawati dan Dimas Arika Mihardja) tampil lebih simetris dan menarik.

Apa yang saya tuliskan sebagai prolog ini sebenarnya adalah suatu pembuka perbincangan yang biasanya kami lakukan di ruang diskusi Rabu sore di lembaga kami, Lapena. Karena berbagai kesibukan ruang diskusi rabu sore itu sudah vakum dalam waktu yang lama. Dan sebagai pelepas rasa kangen saya dengan teman-teman peserta diskusi yang biasa hadir nyata di lapena, maka lewat lembaran catatan ini saya berbagi dengan teman teman bagaimana puisi itu sebenarnya saling mengispirasikan bagi sesama penyair.

Puisi Menimang Cucu yang saya kirimkan spontan ke bapak Arsyad Indradi seperti yang saya tuliskan di atas, kemudian saya baca ulang lalu saya edit beberapa bagian sehingga saya yakin untuk menetap  di Rumoh Sastra D Keumalawati dan Romoh Puisi Kemala. Setelah muncul di halaman depan blog, saya  pikir tak salah kalau saya juga berbagi di FB.  Dan ternyata setelah saya terbitkan dengan menandai beberapa teman yang bagi saya meski pun ruangnya berbeda, mereka tak lain adalah teman berbincang di diskusi Rabu sore Lapena, komentar teman-teman disana tak hanya komentar biasa tetapi juga puisi-puisi yang dilahirkan spontan oleh teman-teman penyair seperti yang saya kutip berikut ini. Saya mulai dengan puisi saya.

MENIMANG CUCU
Kepada Arsyad Indradi
D Kemalawati

Setelah takbir kau perdengarkan
geliatnya kelihatan nyata 
sembari mengucap syukur
kau raba detak jantungmu
menyamakan dengan denyut nadinya
kau simak tangis pertamanya
sebagai puisi berima muda
mendaratlah kasih dalam kecupan
entah telah berapa lama menghidu wanginya
sebelum kau timang dia

Banda Aceh, 10 Maret 2010
Komen pertama yang menuliskan puisinya untuk Bapak Arsyad datang dari Dimas Arika Mihardja.


MENIMANG CINTA, MEMINANG KASIH
~ bait-bait buat abah arsyad indradi

Dimas Arika Mihardja

seusai kautancapkan gunungan lengkap dengan wajah ceria
angin lalu bercerita tentang desah kasih, ciuman putih
ingin jemari ini tak letih menguntai ruas doa buat abah
untuk pewaris riwayat cinta berbusana kasih

Puisi itu dituliskan beberapa saat setelah puisi saya Menimang Cucu itu saya berhasil diterbitkan di FB. Dan komentar kedua yang menuliskan puisinya juga untuk bapak Arsyad dengan nada yang sama muncul dari Yssika Susastra. Berikut ini aslinya.

DALAM BAYANG IMPIAN
Yessika Susastra

engkaukah cucuku? darah daging yang kuderaskan pada denyut
jantung yang bernama kekasih? ah, senyummu sepertinya aku hafal
sejak nenekmu dulu mencium punggung tangan saat ikrar
sebelum persandingan

engkaukah? ah, alangkah cantik mungil bibirmu
apakah yang kaubisikkan? abah?o, aku kakekmu
yang lucu, hayo tersenyumlah

duh, basah deh sarung kakek terkena pipismu
tapi enggak apa, pipislah lagi
basuh dada kakek dengan kehangatan

engkaulah? ah, kakek bahagia

Puisi itu juga tak berselang lama muncul di layar sama setelah beberapa komentar lainnya. Puisi berikutnya ditulis oleh penyair Moh Gufron Cholid yang di bawahnya dituliskan tanggal  penulisannya yaitu 11 Maret, satu hari setelah puisi Menimang Cucu saya publikasikan.
ADA SURGA DALAM KECUPMU
: Arsyad Indradi

Moh Gufron Cholid

Ada surga dalam kecupmu
Saat kau timang cucu
...Dalam debar rindu

Ada surga dalam kecupmu
Kebahagian menjadi tugu
Dunia pun cemburu
Sebab karunia tak henti memburu
Ramai sunyi hidupmu

Kamar Hati, 11 Maret 2011

Terinspirasi dengan puisi Menimang Cucu, seorang teman guru yang handal dalam menulis cerpen dan pernah beberapa kali memenangkan Sayembara Menulis Cerpen Guru (LMCP) yang diadakan Diknas Herni fauziah, kini bermukim di Medan, Sumatra Utara juga menulis puisi dengan judul yang sama Menimang Cucu. Sambil tertawa-tawa di telpon Herni yang akrab kupanggil Tata itu mengatakan kalau dia terinspirasi dengan puisi saya dan sengaja memakai judul itu sebagai tandingan. Berikut puisi yang diterbitkan di note-nya Herni Fauziah.
MENIMANG CUCU
Herni Fauziah
Seorang perempuan renta
melantunkan senandung buaian
tak berirama

Ceracau-ceracau
bagai suara mantera di antara wangi dupa
Seorang bocah
bertelanjang dada
meringkuk
merengkuh tubuhnya berselimut kain kumal, pudar warnanya

Gigil-gigil sisa tangisan tadi malam
masih lekat di gurat-gurat wajahnya
senandung buaian masih terdengar
mengisahkan cerita yang tertunda

Ayah tiada
Bunda di Saudi Arabia
bersandar di bahu yang renta
rapuh pula
dengan buaian kehilangan irama
senandung terus terdengar
entah sampai ke lembaran berapa
mereka tak berani menerka


Medan, 11 Maret 2011
Dengan tidak bermaksud mengatakan siapa menginspirasi siapa, dan juga tidak bermaksud memberikan suatu kesimpulan yang mutlak, dari apa yang saya dapatkan dalam menulis catatan di FB berupa puisi yang sangat sederhana telah lahir beberapa puisi yang sangat menginspirasi dan layak untuk dibincangkan. Tentu bagi mereka yang menulis di komentar puisi saya masih terbuka peluang untuk mereka mengubahnya dan menuliskan kembali di catatan mereka. Demikian, salam sastra De Kemalawati

Banda Aceh, 13 Maret 2011

Sabtu, 05 Maret 2011

SANG PENGKISAH ITU TERBANG BERSAMA BURUNG-BURUNG BERSAYAP AIR

(Pengantar Peluncuran Buku Puisi Dewi Nova)

 Oleh D Kemalawati


Bagaimana membahasakan sebuah kisah tetapi tidak membuat orang berpaling membacanya bahkan menulis kembali dalam pikirannya menjadi kisah yang lebih panjang, lebih menusuk bahkan lebih berliku dari yang dibaca semula. Sungguh hal tersebut tak mudah bagi sembarang orang. Tidak juga bagi setiap orang yang bekerja sebagai penulis  kisah. Dan apa yang dibahasakan oleh  Dewi Nova dalam kumpulan puisinya ‘Burung-burung Bersayap Air’ (JAKER, 2010),  adalah suatu kepiawaian menulis kisah dalam kalimat-kalimat singkat yang kemudian berakhir dengan kisah yang panjang dan menetap dalam pikiran kita, para pembacanya.  

Membicarakan buku puisi Dewi Nova yang hanya memuat 47 judul puisi dengan tebal buku 60-an halaman,  berarti membicarakan kepiawaian Nova dalam mengkisahkan kembali apa yang dilihat, di dengar, dibaca ke dalam   untaian kata yang lugas, puitis, tajam dan menusuk. Kita pembaca dengan serta merta diajak masuk dalam kisahnya dengan membawa kembali kisah itu ke dalam pikiran kita. Mari kita simak sebuah berita dari Aceh (halaman 1) yang ditulis oleh Nova dengan judul dan isi tanpa basa-basi.


BERITA DARI ACEH

Malam ini
seorang perempuan
diperkosa di rumahnya
juga malam sebelumnya
dan pada malam-malam hitam selanjutnya
atau… suaminya dalam tahanan
akan di DOR!

Kemarin
seorang perempuan  ditemukan telah menjadi mayat
kedua payudaranya dipotong
juga lelaki yang dilindunginya
ia pun menjadi  telah mayat

Jakarta, 13 Januari 2004

Nova memulai dengan  menulis waktu, malam ini. Waktu memang begitu penting pada setiap pengkisahan baik lisan mau pun tulisan. Apa yang terjadi malam ini dikisahkan oleh Nova dengan bahasa  apa adanya, seorang perempuan diperkosa di rumahnya. Lalu malam sebelumnya,  malam sesudahnya  dan pada baris terakhir bait pertama  ‘ atau… suaminya di tahanan akan di DOR!.’  Apa yang ditulis Nova adalah kabar sebenarnya yang dia peroleh dari Aceh dan ditulisnya di Jakarta pada Januari 2004. Kalau menilik tanggal penulisan maka yang muncul dalam pikiran kita bagaimana situasi Aceh saat itu. Perempuan yang harus menerima perlakuan keji dari mereka yang seharusnya melindungi warganya. Lelaki Aceh dengan mudah di penjara meski kenyataannya dia hanya petani biasa atau pedagang kecil yang mencari sesuap nasi dengan keringat dan tenaganya yang tak seberapa. Dengan memenjarakan lelaki, maka perempuannya akan mudah diperkosa dan meski pun sudah sangat terhina masih harus pasrah lelakinya dipenjara dipulangkan tak nyawa. Dan yang lebih parah lagi bagaimana perempuan yang terpaksa melindungi lelaki harus  merelakan nyawanya dengan kedua payudaranya dipotong. 
Dari sebuah puisi yang ditulis Nova, kejadian-kejadian pahit yang dialami perempuan Aceh kembali hadir di memori kita. Lalu dengan serta merta kita kisah-kisah lain akan bermuara lalu mengalir  berakhir dalam  samudra pikiran kita.

Nova tak hanya berkisah dengan bahasa lugas tanpa basa-basi. Dengan bahasa yang lebih bersayap Nova mengisahkan kembali apa yang didengarnya dari perempuan-perempuan Aceh yang ditemukan di Bukit Janda. Dalam puisinya yang terpanjang  (hal, 9-13) yang di beri judul ‘Tutur Inong Aceh’  Nova kelihatan sangat piawai mengaduk-aduk emosi kita pembaca.  Simaklah bagaimana Nova memulai kisahnya

Waktu malam merambat
waktu rintik bergulir pada daun coklat
waktu kami duduk melingkar
waktu kami bertutur

Membaca bait pertama kita tak membayang kan betapa getirnya tutur inong Aceh yang akan dikisahnya pada bait-bait berikutnya.

Inong cantik:

Tulis Nova pada bait kedua.

Mereka membunuh suamiku
mereka menginterogasi dan menyiksaku
mereka menelanjangiku
pada masa DOM
pada masa DOM
pada masa DOM

Pada bait berikutnya dengan sangat lancar Nova mengkisahkan kembali apa yang didengarnya dari Inong Cerdik,  bagaimana ia menjadi penterjemah bahasa bagi mereka yang menyiksa Inong Cantik dan itu terjadi di rumah Inong Cerdik yang meski disebut cerdik tapi selama tiga bulan hanya memeras airmata. Semua tutur para perempuan dengan berbagai kisah ditandai Nova dengan memberi nama. Ia menyebut Inong Cinta sekaligus Inong Bale untuk perempuan yang menceritakan penderitaannya karena suaminya diculik.  Lalu dengan beberapa kalimat saja, Nova sudah mengkisahkan siapa tentera siang dan tentera malam, apa yang dilakukan tentera malam dan apa yang dilakukan tentera siang yang kesemuanya menggambarkan bagaimana terjepitnya Inong Cinta. Bagaimana Inong Cinta harus menerima kenyataan, ketika anak yang dipaksanya meninggalkan kampung   karena dia tak yakin mampu  melindungi nya dari jerat tentera siang mau pun tentrera malam, akhirnya menjadi korban tsunami. Nova menulis:

Di Banda, anakku dijemput tsunami
“Ibu tak bermaksud  untuk memilihmu antara tentera dan tsunami.”

Selain Inong cantik, Inong Cerdik, Inong Cinta, Nova juga mengkisahkan apa yang didengar dari inong tangguh. Ternyata tak semua lelaki meninggalkan perempuan karena menjadi milisi atau tentera malam. Nova menulis :

Inong Tangguh:
suamiku meninggalkan aku dan 6 anak
tidak untuk jadi milisi
tidak untuk jadi tentara malam
untuk menyelamatkan diri sambil menikahi
perempuan lain
dan melupakan kami.

Apa yang didengar Nova dari perempuan yang duduk melingkar itu sungguh suatu tragedy yang membekas dan tak mudah hilang dari ingatan. Tetapi sebagaimana memulainya, maka ketika menuntaskan tutur para perempuan itu,  Nova menulisnya dengan sangat bijak.

Waktu malam menyambut pagi
waktu hujan berhenti 
waktu pohon-pohon coklat tumbuh semakin subur  
waktu kami melanjutkan hidup di atas kaki sendiri.

Membaca kumpulan puisi Dewi Nova, Burung Burung bersayap Air, kita seperti berdiwana ke negeri-negeri dimana penderitaan para perempuannya terlihat jelas ke permukaan.  Menurut penulisnya sendiri, ke 47 puisi yang ada dalam antologi puisi ini memang sengaja dipilih  dari banyak puisi lain yang ditulisnya karena tema yang diangkatnya adalah kekerasan pada perempuan. Ya, Nova memang memilih jalan hidup sebagai aktifis perempuan, meski ianya sendiri  adalah seorang perempuan yang penuh kelembutan yang pernah sangat menderita karena penyakit tumor yang menyerang payudaranya. Dan harus  merelakan payudaranya dibedah berkali. Tentu bila kita membaca judul bukunya gambaran kekerasan yang menggetirkan itu sama sekali tak kelihatan. Tetapi hampir semua puisi yang ada dalam buku ini menggambarkan betapa perempuan dimana pun yang sempat didatanginya dicatat sebagai mahluk yang teraniaya, korban kekerasan bersenjata juga sebagai barang untuk diperdagangkan.

Di Poso, Dewi Nova mencatat dalam puisi ‘Lelaki Bersenjata itu, Kekasihku’ (hal, 6-7)  bagaimana seorang perempuan yang menyerahkan dirinya sebagai kekasih lelaki bersenjata. Lelaki yang dicintainya itu berjanji akan menikahinya. Hal itu tak pernah terjadi. lelaki yang harus  berpindah berkali itu selalu meminta perempuannya  datang hanya untuk menghamili dan menggugurkan kandungannya.Pernikahan itu tak pernah ada, tulis Nova.

Lelaki itu akan mengawiniku
jika laporan ke PROVOST aku cabut
satu tahun berlalu  
Peradilan militer tidak pernah terjadi
 Hanya surat pencabutan perkara
yang tak pernah aku tandatangani

Meski pun dibanyak  puisi Dewi Nova menulis tentang  perempuan yang teraniaya dan kalah, dalam puisi ‘Kau Ambil Parang kami, Kurampas Senjata Kalian’  (halaman 4) yang menurut saya sangat ispiratif, Dewi Nova menulis seperti juga dirasuki kekuatan jagat raya.

Ratusan  perempuan
seperti rombongan kupu-kupu
 memenuhi kebun
orang-orang berseragam
 memoncongkan senjata api
pada tubuh mereka

“Kau maju selangkah, kami maju dua langkah,”
 teriak perempuan
“Berhenti menebang pohon kopi, atau kami tetap menghadang,” 
perempuan mengacungkan parang

moncong senapan siap menerkam
dua perempuan menelanjangkan diri

“Kau ambil parang kami, kurampas senjata kalian!”
lawan perempuan

pasukan bersenjata mundur
ratusan perempuan menabuh gong
memanggil kekuatan jagat raya

Manggarai, 19 April 2004

Apa yang dialami perempuan TKI dikisahkan Nova dalam puisi ‘ Perempuan Kapuas’. Bagaimana perempuan Kapuas dijanjikan kerja 2 tahun, dilarang pulang 3 tahun. tak berani lapor ke KBRI, paspor ditahan majikan atas persetujuan pemerintah Indonesia. Tak terhitung banyaknya TKW  Indonesia yang menerima perlakuan tak selayaknya dari majikannya di luar sana. Dan kepada Asosiasi Tenaga Kerja Indonesia ( ATKI), Dewi Nova menulis dengan sangat imajis mataforis.

BURUNG-BURUNG BERSAYAP AIR
Kepak-kepaklah sayapmu
dalam formasi mengumpul kekuatan
melukis langit dengan busur keadilan

rentang-rentangkanlah sayap airmu
menyuburkan perlawanan
di desa-desa yang kering
di kota-kota yang kejam

terbang-terbangkanlah sayapmu
melampaui bangsa-bangsa dan benua
sambil mengajari siapapun tak lebih tinggi
dari sesiapa
sambil luaskan pandang setiap benua
untuk semua bangsa.

Radio Dalam, Jakarta, 11 Mei 2010  

Demikianlah sang pengkisah yang bernama Dewi Nova Wahyuni yang lahir di Perkebunan Teh, Kabupaten Bandung, 19 Nopember 1974 telah menerbangkan kisah-kisah yang dilihat, didengar, dibaca melalaui Burung-Burung Bersayap Air. Dan telah hinggap pula di pikiran saya, pikiran para pembaca lainnya untuk kemudian menjelma sayap baru yang dipenuhi air. 

Selamat kepada sang penari  yang  selalu mengemulaikan diri dalam gerakan pencerahan kepada kaumnya . Terbang  dan rentangkan sayap airmu menyuburkan lahan-lahan perlawanan. . .

Banda Aceh, 22 Januari 2011

*Pengantar peluncuran buku puisi Dewi Nova, pada 22 Januari 2011 di Kedai Kopi Apa Kaoy, Banda Aceh