Kamis, 21 April 2011

3 KOTA 1 ANTOLOGI 1001 MAKNA

Hary Soedarto Harjono*

Berkumpul bersama adalah permulaan, tetap bersama adalah kemajuan, dan bekerja bersama adalah keberhasilan. Pernyataan Henry Ford ini agaknya tepat mewakili kerja kolaborasi 3 dukun kata dari 3 kota yang menghasilkan antologi sajak 3 di Hati. Jika mengintip latar historis terciptanya antologi ini yang tidak dapat dilepaskan dari atmosfir ‘negeri gurindam” tempat masyhurnya nasihat-nasihat Raja Ali Haji yang bernafaskan Melayu dan Islam, maka aura sastra klasik itu —  setidaknya atmosfir syair, pantun, atau gurindam dan nilai-nilai Islam — dapat diduga mewarnai sajak-sajak yang terhimpun di dalamnya. Meskipun sudah barang tentu penyair juga melakukan transformasi  estetika dan nilai-nilai tersebut dalam proses penciptaan sehingga dihasilkan sajak-sajak universal yang ‘melesat’ meninggalkan lingkungan fisik, sosial, psikologi, dan budayanya.

Antologi 3 di Hati, tiga “djiwa” dalam satu hati, sejatinya mengguratkan tiga dimensi pewarnaan sajak yang berbeda intensitasnya: merah, kuning, dan hijau, warna pelangi (bukan warna PDI-P, Golkar, dan PPP). Sajak-sajak Dimas Arika Mihardja lebih memerah, penuh semangat  ‘memanen senja/melukis bianglala di dada’, yang dengan elan vital menyala-nyala ‘menatah sajak emas di beranda’ menebar ‘mantra kamasutra’.  Sementara sajak-sajak D. Kemalawati (Deknong) lebih menguning, menyuarakan ‘isyarat tentang berbagai alamat dunia dan akhirat’ dengan bahasa yang lebih lugas, yang menurut Dimas lebih ‘berpijak di bumi/melukis cakrawala saat laut dan langit bertaut’ (‘Tiga Dimensi’). Sedangkan sajak-sajak Diah Hadaning (Diha) lebih kontemplatif menghijau, sejuk, hening dan teduh, serupa ‘kearifan pelangi’. Tema-tema demikian ini secara eksplisit terimplisitkan dari sajak-sajak seperti dalam “Semak Bakau yang Menyapa dalam Diam”, “Perempuan-perempuan Pulau Sunyi”, “Hujan Oktober dan Gurindam Hati”, “Teratak Kecil di Pulau Sunyi”, dan “Intan dari Pulau Sunyi”.

Ketiga dimensi itu menghadirkan sajak-sajak yang ‘merah kuning hijau’ yang lengkap, tidak saja menggantung ‘di langit yang biru’, melainkan juga mendarat di bumi yang pekat. Dengan kata lain, komposisi warna pelangi ini dapat dikatakan merepresentasikan cita rasa artistik para penciptanya, yang membumi dan melangit.  Di dalamnya ada nuansa lirik yang personal, nuansa kemanusiaan, nuansa sosial, dan juga religiusitas yang kesemuanya mengajak pembaca menikmati, merenung, dan memaknai sajak sesuai dengan latar pengetahuan, pengalaman, dan cakrawala harapan masing-masing. Dengan kata lain, 1001 makna dapat didedahkan dari antologi ini sesuai dengan perspektif pemaknaan pembacanya.

Sajak-sajak Diha dalam antologi ini amat kental dengan nuansa esoteris melalui penyelisikan hakikat yang diangkat dari alam kosmos dan tema-tema hidup keseharian yang direnung-renungkan, dihayati dengan sepenuh-penuh perasaan (dengan tidak begitu hirau pada logika), dan diungkapkan dengan bahasa yang padat. Yang menarik, penyair perempuan pemegang rekor MURI yang menerbitkan kumpulan sajak paling tebal (700 halaman) dalam usia paling senior (70 tahun) , yang juga dikenal dengan sajak-sajak kejawen ini seperti dirasuki roh Melayu, atau setidaknya terpanggil, terusik, ‘terganggu’ batin dan jiwanya untuk hanyut dalam ekstase di lautan estetika dan nilai-nilai Melayu Lama. Misalnya terlihat dalam ‘Semak Bakau yang Menyapa dalam Diam’:

semak bakau
semak pulau
menyapa sukma
dalam bahasa purba:
simak akarku       
dengan mata batin, tuturnya.

Dalam kutipan sajak tersebut terdapat variasi permainan bunyi yang kuat dan khas syair Melayu, yang mengisyaratkan adanya keinginan yang kuat untuk menggali esensi sampai ke akar-akarnya. Begitu juga dalam ‘kisah reraja Batak/tak usai disibak-sibak’ (‘Memandang Pulau Penyengat dari Seberang’), ‘orang-orang dari seberang/ datang bertandang/ ada syair ada dendang/ diusung rasa senang’ (Perempuan-perempuan Jilbab Kuning), dan lebih jelas lagi modifikasi nuansa gurindam yang terintegrasikan dalam ‘Hujan Oktober dan Gurindam Hati:

hujan membisik pelan
gurindam pasal empat:
hati itu kerajaan di dalam tubuh
jikalau zolim segala anggota pun rubuh.

Begitulah, roh sebagian petuah Melayu yang Islami dari Raja Ali Haji dalam Gurindam 12 merasuki jasad dan jiwa sajak ini, yang selanjutnya dipertegas dengan gubahan pernyataan sikap penyair sendiri berdasarkan pengalaman hidup yang panjang bergumul dengan kata: ‘dalam kata adalah kekuatan/ dalam kata adalah perbuatan’.  Tidak hanya itu, dalam ‘Membaca Angin Anjung Cahaya’ roh syair dan pantun Melayu juga merasuki jasad sajak ini, yang sekaligus mengisyaratkan kekaguman dan keinginan,  serta keterbukaan dan kesadaran penyair pada daya magis alam pikir, rasa, dan estetika Melayu.

Kekaguman dan keinginan penyair itu tersirat dari ‘umbai-umbai menyimpan anggun/ aku semakin ngungun’. Untuk mengejar kesesuaian bunyi, secara kreatif digunakan diksi dari khazanah bahasa Jawa ngungun. Juga dalam ‘Membaca Wajah-wajah’: ‘aku ingin mencium wangi/ aroma syair kearifan’. Keterbukaan dan kesadaran untuk menerima dengan suka cita tercermin dari: segenap hati tengah bersuka/ membangun keajaiban dunia kata’ (‘Membaca Angin Anjung Cahaya’). Ini semakin memperlihatkan bahwa Sang Pencari berupaya  menyelami khazanah pemikiran dan estetika Melayu dalam memperkaya pengalaman batin dan pengungkapan sajak-sajaknya. Dengan kata lain, ada upaya penyair dalam pencarian kali ini untuk melakukan transformasi dan revitalisasi nilai-nilai Melayu (lama) menjadi sajak-sajak kini yang lebih longgar secara fisik dengan metafor yang khas tetapi padat dalam penyampaian pesan. Penggunaan diksi Melayu seperti ‘tuan’, ‘puan’, ‘reraja’, ‘rebana’, ‘barzanji’, ‘pompong’, ‘tongkang’, dan juga pengungkapan ritmis seperti ‘zikirnya memantik hati/ lusa selalu bisa ditata kembali’, serta persajakan yang kaya dengan permainan bunyi khas syair dan pantun (meskipun tidak secara utuh), dan roh gurindam menjadi warna dominan sajak-sajak Diha yang hening tetapi menyimpan 1001 makna dalam antologi ini.

Berbeda warna dengan sajak-sajak Diha, sajak-sajak Dimas menampung berbagai tema kaya nuansa yang diungkapkan dengan bahasa yang lebih lentur, cair dan kadang sangat transparan layaknya prosa pendek. Misalnya terdapat dalam ‘Kisah Pagi Sehabis Hujan’, yang merupakan representasi konkret pergulatan psiko-religi-eksistensial  penyair dalam dunia kepenyairannya. Dalam sajak ini penyair terlibat dalam monolog pergulatan batin yang berat dan berlarat-larat. Di satu pihak, interpretasi kalangan tertentu dari perspektif agama (Islam) secara tegas menyatakan bahwa penyair (tertentu) sangat dibenci dan dilaknat oleh Tuhan karena biasanya hanya ‘mengatakan sesuatu yang tak pernah dilakukannya/ ia melukis cinta, tetapi dengan pakaian dusta/ Ia menyatakan setia, namun seperti domba berbulu serigala’, bukan sebaliknya.  Di pihak lain, dunia kepenyairan, ‘negeri kata-kata’ sudah menjadi pilihan hidup bagi Dimas, dan juga dua D lainnya, Diha dan Deknong. Penyair dalam hal ini dihadapkan pada situasi yang dilematis.

Pada akhirnya pergulatan batin itu dimenangkan oleh Dimas dengan penyikapan reflektif yang merunduk dan arif: ‘Ya, Allah ampunilah khilaf dan salahku/ Jadikan aku kupu-kupu di atas aroma bunga/  Jadikan aku sayap-sayap laron yang tanggal saat mengecup lampu/ Maafkan segala kata dan cintaku/ Sungguh di hadapan-Mu aku hanyalah serpihan debu’. Sebuah ungkapan kepasrahan yang mencerminkan sikap religiusitas penyair, yang mengisyaratkan juga pengakuan atas transendensi kekuasaan Allah yang demikian untouchable, tak tersentuh, tak terbatas — yang dipertegas lagi dengan ungkapan ‘aku lenyap saat Kauhapus jejak debu di Terompah-Mu’. Juga, ungkapan senada dalam ‘Esok Hari Saat Mentari Meninggi’: lalu kembali luruh sedalam simpuh, yang semakin mengekalkan ketidakberdayaan penyair di hadapan Sang Khalik.

Pada sajaknya yang lain Dimas mengurai dimensi mata, detak djiwa, dan hati, yang sejatinya mengisyaratkan visi penyair dalam pergumulannya dengan dunia kata dan kesesuaian pandangannya dengan penyair lain (khususnya Diha dan Deknong), meskipun disadari bahwa yang melandasi kesesuaian itu adalah adanya perbedaan yang diibaratkan seperti bumi, laut, dan langit atau simbol lain serupa pelangi (bianglala). Dalam simbolisme ini dimensi mata dapat dimaknai memberikan arah, petunjuk, penerang, yang menuntun dalam penciptaan. Dimensi detak djiwa melambangkan jejak langkah spiritual, puja puji dan kerinduan penyair pada Yang Maha Kasih: ‘tak lelah kulidahkan bahasa sajadah/ menautkan jemari rindu yang rindang/ lalu kuronce jadi qasidah yang indah/ mengabadikan percintaan’ yang dalam konsep mistis Jawa barangkali ungkapan ini sejiwa dengan upaya-upaya penyatuan diri dengan Tuhan (manunggaling kawulo lan Gusti).  Selanjutnya, dalam dimensi hati semangat kebersamaan itu mengkristal menjadi sinergi: ‘aku perahu dan engkau kemudi/ maka berlayarlah kita/ bersama dalam badai dan damai’, yang diperkuat lagi dalam ungkapan bait berikutnya: ‘engkau orkestra simphoni di beranda hati/ kita bersama melangitkan jutaan merpati’. Dengan sinergi kolektif seperti inilah, maka dunia kata, dunia kepenyairan—meskipun berada ‘di dermaga paling sunyi’ dapat dihidupkan, diberi roh untuk tetap ‘abadi di hati’ sehingga sanggup menggerakkan mata dan tangan untuk ‘membaca bianglala dan melukis pelangi’.

Dimensi lain yang juga mengemuka dalam sajak-sajak Dimas dalam antologi ini adalah kesaksiannya pada kenestapaan orang lain, misalnya dalam ‘Sajak Mentawai’, ‘Meratapi Merapi’, ‘Air Mata Doa: untuk Mbah Maridjan’, ‘Kalkulasi Tragedi’, ‘Puisi Tragedi’, dan ‘Gempa 9,9 Skala Richter’. Kecuali dalam ‘Gempa 9,9 Skala Richter’ yang secara eksplisit menyarankan penyikapan untuk  berserah diri kepada yang Maha Berkuasa: ‘sebelum benarbenar tiarap di kedalaman dekap-Mu’, dalam sajak-sajak tragedi yang lain Dimas lebih nyaman memposisikan sebagai narator, misalnya dalam ‘Sajak Mentawai’:

dengar teriak ombak yang bangkit menggulung pantai
muaro
malin kundang digulung gelombang
dan orangorang berteriak tsunami:
suami istri itu pun mati

Begitu juga dalam ‘Meratapi Merapi’: ‘di tengah sawah berarak wedhus gembel/ menyapu rumputan/ berlarian di lapak yang sesak isak’, dan juga dalam ‘Air Mata Doa’: ‘mbah Maridjan/ pengabdianmu sebagai abdi/ lunas di tangan juru kunci’, atau dalam ‘Puisi Tragedi’: ‘sebelah sayapku patah lagi, ayah/ hujan tumpah’. Pada sajak-sajak seperti ini Dimas cenderung menyerahkan sepenuhnya interpretasi dan tanggapan kepada pembaca secara netral tanpa mendampinginya dengan ungkapan-ungkapan lain yang memancing keterlibatan dan empati seperti yang dilakukan oleh D. Kemalawati dalam ‘Siapakah Kau Setelah Erupsi’: ‘lalu siapakah engkau kini/ yang sebelum erupsi/ mengirimkan aku cinta petani/ pada sajak padi merunduk hati’. Lebih jelas lagi perbedaan itu terlihat dari penyikapan D. Kemalawati dalam sajak tragedi pasca-Tsunami Aceh 2005 yang diekspresikan dalam ‘Dahaga Laut’: ‘biarkan kami mendekat/ memungut kayu-kayu yang berserakan/ untuk tiang gubuk kami yang baru’. Dengan perbandingan ini dapat diindikasikan bahwa terhadap persoalan yang sama (tragedi), intensitas penyikapan penyair bisa berbeda.  Perbedaan ini justru memperkaya dan pada taraf tertentu saling melengkapi. Perbedaan itu mungkin disebabkan karena kepekaan psikologis, empati, gender, dan mungkin juga perbedaan keterlibatan dalam persoalan (langsung atau tidak).

Selebihnya, sajak-sajak D. Kemalawati dalam antologi ini lebih dominan diwarnai kegelisahan psikologis, relasi antarmanusia yang bisa mendatangkan duka, suka, dan penjelajahan spiritual yang salah satu manifestasi bentuknya adalah kerinduan pada Tuhan. Dalam ‘Sebelum Jejakmu Raib’, relasi antarmanusia yang mendatangkan disharmoni dan kekecewaan itu diekspresikan secara tegas oleh penyair. Segala yang dilakukan oleh aku lirik serba salah, tidak pernah dihargai: ‘setelah garasi dipenuhi cermin/ jejakmu raib entah kemana’. Warna serupa tercermin dari sajak ‘Setelah Kerelaan Kau Abaikan’: ‘apakah artinya kerelaanku terkurung dalam/ sangkarmu/ sedang pintu telah terbuka dan kau menjauh pergi’. Namun, dalam menghadapi situasi seperti itu Deknong menunjukkan ketegaran dan kedewasaannya, seperti tersirat dari ungkapan ‘kutahu dan sungguh aku tak mau/ kepergianmu/ menguburkan seluruh bait puisiku’. Lebih tegas lagi, kedewasaan penyikapan menghadapi persoalan itu terungkap dalam sajak ‘Keyakinanku’:

biar semua pintu terkunci
biar semua dentang tak berbunyi
biar semua kelam menuju pekat
tak kubiarkan hati ini mengubah arah
kau lah langitku
tempat asal seluruh cahaya menyatu

Terlepas dari tema yang diangkatnya, yang menarik dan menonjol dalam sajak-sajak D. Kemalawati dalam antologi ini adalah berkelebatnya imaji-imaji ‘liar’ yang telah dijinakkan sehingga menjadi metafor unik yang sanggup menghidupkan dan menguatkan ungkapan-ungkapannya. Misalnya, dalam ‘telah kugeraikan rambutku/ hingga pucuk-pucuk cemara merunduk malu’ atau ‘sekarang lidah laut sedang menjilati jejakku’ (Tarian Pelangi). Demikian juga dalam ungkapan ‘tapi akupun serupa gunung yang menjulang’ (Setelah Kerelaan Kau Abaikan), ‘berpacu binal riakku’ (Aku Rapuh Tanpa Karangku), dan dalam sajak ‘Izinkan Aku Ibu’ yang sarat kandungan metafor serupa, misalnya ‘Ibu, izinkan aku berteduh di rimbun daun hutanmu’, ‘…basahi parit jiwaku’, ‘..palung kalbuku’, ‘agar kristal keringat duniawi/ tak membeku di dada’, ‘menggigil bagai pucuk kuyup diterpa angin/ bentangkan selimut semestamu’.

Lebih eksplisit lagi, metafor liar itu berkeliaran dalam sajak ‘Kangen’: kalau kangenku makin membara/ tak cukup lautan kata/ meredamnya/ maka berikan aku sebilah rencong/ untuk kutikam di dada hampa’. Selain itu, dalam sajak-sajak yang bernafaskan penjelajahan spiritual pun dijalin dengan metafor-metafor seperti itu dengan menggunakan simbolisme persetubuhan, kerinduan (kangen) pada kekasih, atau makam, seperti yang secara eksplisit diungkapkan dalam ‘Kangenku’, ‘Kangen Menujumu’, ‘Ruang Diri’, atau ‘Pagi di Cengkareng’.  Metafor seperti ini — meskipun telah secara intens dijelajahi juga oleh Amir Hamzah dalam kumpulan sajaknya Nyanyi Sunyi atau Rendra dalam Nyanyian Angsa-nya, namun tetap tidak menghilangkan kesan bahwa metafor yang digunakan D. Kemalawati pada konteks ini memiliki keunikan tersendiri yang berbeda dari para pendahulunya itu.

Demikianlah, memungkasi tulisan ini perlu saya ingatkan bahwa yang tersaji di sini hanya serpihan-serpihan pemaknaan impulsif terhadap sepilihan sajak yang pertimbangan, cara kerja, dan pendekatannya sangat subjektif dan jauh dari ilmiah. Ini hanya salah satu kemungkinan pemaknaan yang sudah barang tentu menyisakan ribuan bahkan jutaan kemungkinan pemaknaan lain yang lebih menarik dan mencerahkan.  Akhirnya, terpaksa harus saya sudahi tulisan ini karena tiba-tiba saya teringat ancaman dari gurindam Raja Ali Haji: apabila banyak berkata-kata/ di situlah jalan masuk dusta.***

*) Hary Soedarto Harjono (Hary S. Haryono) adalah staf pengajar pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di FKIP Universitas Jambi dan Program Magister Pendidikan Pascasarjana Universitas Jambi; kertas kerja ini disajikan dalam acara DIALOG SASTRA DAN TEMU PENYAIR 3 KOTA (Jakarta, Jambi, Aceh) di Aula Rektorat Lt. III Kampus Universitas Jambi, Mendalo Darat,Jambi 22 Maret 2011, pukul 08.30-selesai.

DUA SAJAK TENTANG KARTINI, SEBUAH PERBANDINGAN


Catatan Dimas Arika Mihardja

Pengantar:

Bukan sebuah kebetulan terhadap sosok Raden Ajeng Kartini melahirkan banyak interpretasi. Bagaimanakah "pembacaan" sosok Kartini oleh dua orang penyair berjenis kelamin berbeda, berbeda etnis, dan berbeda suasana? Tulisan sederhana ini bermaksud menyandingbandingkan dua sajak, yakni "Ketika Kartini Berkunjung ke Aceh" (D Kemalawati, Banda Aceh) dan "Ketika Kartini Tak Singgah ke Sekolah" (Ardi Nugroho, Sidoarjo). Kita sandingbandingkan dulu kedua sajak itu.

Ketika Kartini Berkunjung Ke Aceh
(D Kemalawati, Banda Aceh)

Ia memakai kebaya ungu
Sanggul melati dan slop berhak tinggi
Di tangannya pena emas dan sehelai perangko

Ia mengajak Cut Nyak Dien semeja di pendapa
Dari belantara Cut Nyak Dien mengirim aba-aba
Ia butuh senjata menikam serigala.

Banda Aceh, 21 April 2006 
(KEMALA, Meditasi Dampak70, 293)

KETIKA KARTINI TAK SINGGAH KE SEKOLAH
 (Ardi Nugroho, Sidoarjo)

melintas Jembatan Porong
anak perempuan dekil bernyanyi lagu ala kadar
tangannya bergoyang mainkan kencringan
mimiknya lucu hidungnya ingusan
suaranya pecah, menambah ruwet perempatan dekat lampu merah
namun sorot matanya selipkan kerinduan
yang teramat panjang

memasuki Pasar Larangan
perempuan muda membaca sajak dari lapak ke lapak
wajah melonnya berbinar menangkap matamata liar
gerak tubuhnya menggambar jerat keterpaksaan
dan lagilagi terselip kerinduan
yang panjang

di gerbang kedatangan Bandara Juanda
perempuan setengah baya berkacamata hitam
celana ketat string, kaos singlet bergambar durian
rambut rebonding depan, keriting kiri kanan
berasesori headset setia rojer merojer bro dan sist
lambaian tangannya lukiskan kebebasan
dari senyumnya, tetap tertangkap kerinduan
yang teramat panjang

di ruang kelas enam, esde Kecamatan Waru
perempuan tua berkacamata baca
membuka ensiklopedi kehidupan
mencari makna arti kerinduan
yang teramat panjang!

Sidoarjo, 21 April 2011


Sangat lama saya digoda oleh sebiji sajak karya D.Kemalawati bertajuk "Ketika Kartini Berkunjung ke Aceh". Sajak ini terus-menerus meneror pikiran saya. Akibatnya, begitu mas Ardi Nugroho meminta sebuah judul untuk puisi yang digubahnya, saya tak sengaja (dan mungkin akibat teror sajak D. kemalawati) saya menyumbangkan judul puisi Mas Ardi Nugroho "Ketika Kartini Tak Singgah ke Sekolah". Celakanya, atau beruntungnya, mas Ardi Nugroho menerima judul puisi yang kusumbangkan. Lantaran kedua sajak ini meneror pikiran, saya lantas tertantang untuk menyanding-bandingkan kedua sajak ini dengan pertanyaan utama: "bagaimana dua penyair berbeda gender, etnis, dan letak geografis menafsirkan sosok Kartini?"

Sajak gubahan D. Kemalawati tampil dalam bentuk dua bait seuntai, sedangkan sajak gubahan mas Ardi Nugroho hadir dalam eujud empat bait seuntai. Kedua sajak sama-sama tampil dalam bait yang genap dan keduanya tentu saja merupakan reinterpretasi terhadap sepak terjang Kartini. Saat Kartini berkunjung ke Aceh (pada suatu masa, entah kapan itu terjadi, mungkin hanya di dunia fantasi dan imajinasi penyair), orang-orang Aceh, paling tidak diwakili oleh sosok D. Kemalawati lebih mengemukakan sikap "berjaga-jaga" atau "siaga". Sikap berjaga-jaga atau siaga (dengan rencong) yang secara tegas dinyatakan pada pamungkas sajaknya : "Ia butuh senjata untuk menikam serigala". Di awal sajaknya, penyair D.Kemalawati dengan piawai mendeskripsikan sosok Kartini melalui simbol-simbol yang melekat pada kedirian dan pribadi Kartini, seperti ini:

Ia memakai kebaya ungu
Sanggul melati dan slop berhak tinggi
Di tangannya pena emas dan sehelai perangko

 Kata "kebaya ungu", "anggul melati", "selop berhak tinggi", "pena emas", dan "perangko" semuanya merupkan simbol yang secara jitu dipilih dan dikenakan untuk sosok Kartini. Dengan simbol-simbol itu (lantaran simbol itu dipakai untuk mewakili banyak makna) maka kepadatan sajak D.Kemalawati tampil memukau lantaran padat. Kepadatan sajak ini secara langsung menunjukkan betapa efektifnya dunia simbol mewakili entitas (termasuk realitas) yang hendak dientaskannya. Sosok kaum ningrat, terpelajar, berderajat tinggi (berhak tinggi), suka membaca dan menulis (pena emas), dan suka berkorespondensi (perangko) merupakan dunia simbol untuk merepresentasikan diri dan kepribadian Kartini. Penyair D. Kemalawati mengerti bahwa "Surat-surat Kartini" lebih banyak menunjukkan korespondensi antara Kartini dan warga bangsa Belanda. Kata "Belanda", sejak dulu dipandang "berbahaya" bagi masyarakat Aceh, oleh sebab itulah bait kedua ini lantas hadir:


Ia mengajak Cut Nyak Dien semeja di pendapa
Dari belantara Cut Nyak Dien mengirim aba-aba
Ia butuh senjata menikam serigala.

Reinterpretasi Penyair D. Kemalawati  dan sikap kritisnya sebagai generasi penerus Cut Nyak Dien masa kini, memunculkan gagasan sehingga tertuang ungkapan ini: 

Ia mengajak Cut Nyak Dien semeja di pendapa
Dari belantara Cut Nyak Dien mengirim aba-aba
Ia butuh senjata menikam serigala.

"Aba-aba" yang diberikan oleh Cut Nyak Dien untuk menyiapkan senjata itu tak lain merupakan sikap waspada, bersiaga, atau berjaga-jaga terhadap "musuh dalam selimut". Frasa "musuh dalam selimut" ini hendaklah dipahami sebab di ungkapan itu D. Kemalawati memilih simbol "serigala" (ingat ungkapan: serigala berbulu domba, ingat pula ungkapan bahwa Belanda suka sekali "adu domba" dalam menjalankan politiknya. Frame reference seperti ini lalu oleh D. Kemalawati dinyatakan agar siaga menghadapi berbagai kemungkinan yang bisa saja terjadi.

Lalu, bagaimana halnya interpretasi Ardi Nugroho terhadap sosok Kartini? Diksi "Porong" (larik 1 bait 1) yang dipadupadankan dengan kata "jembatan" sehingga tercipta "Jembatan Porong" semestinya tak hanya diartikan nama tempat di Jawa Timur. Kita bisa memaknai diksi "porong" itu sama dengan "gosong" atau "hangus". Saat melintasi jembatan di siang bolong, matahari membikin gosong anak perempuan dekil yang bernyanyi sebuah lagu ala kadar. Lagu itu seakan terdengar begini: "begini nasib perempuan jalang, ke mana-mana modal kencringan, tiada orang yang kasihan.... Reff: hati sungsang sebab tak ada yang berih uang, oo, hati meradang lantaran kebelit utang, oo, begini nasib pengamen jalanan, sepanjang jalan jadi gunjingan,tiada orang yang menyayang." Dalam bait pertama sajak Ardi Nugroho sosok Kartini masa kini (April 2011) tampil sebagai perempuan yang dekil yang mengamen di jembatan yang hangus lantaran dibakar matahari.

Sehabais menyanyikan lagu "Begini Nasib" (menurut imajinasi DAM), gadis dekil itu entah belajar dari mana menyanyikan lagu ini: Wahai ibu kita Kartini, putri dari Jepara, sungguh besar sanggulnya, panjang kukunya" lagu perempuan itu "suaranya pecah, menambah ruwet perempatan dekat lampu merah, namun sorot matanya selipkan kerinduan". Menurut pikiran perempuan dekil itu, negeri ini tak berambu dan tak berlampu sehingga keruwetanlah adanya.

Sesaat aku lirik memasuki Pasar Larangan. Nah, ini, diksi yang ajaib "Pasar Larangan" (bisa saja bursa narkoba, ganja, pil koplo, dan aneka minuman memabukkan. Cilakanya, di dalam pasar itu ada perempuan perlente, modis, bergaya, dan sableng meski samar-samar perempuan perlente (bukan lonthe lho) memiliki "kerinduan yang teramat panjang" juga. Sosok Kartini dihadirkan di tengah pasar yang penuh dengan dunia tawar-menawar, pencopetan, pemalsuan timbangan, dan bergaya serupa perempuan metropolis.

Lihatlah, di gerbang kedatangan Bandara Juanda si aku bersua perempuan berkaca mata hitam (pandangannya tentu suram atau bahkan gelap, barangkali suka gelap mata alias nekat). Perempuan berkaca mata hitam ini kayaknya jadi korban zaman. Semua kemajuan dunia salon (bukan sablon lho) dimanfaatkan sehingga bukannya keindahan yang tampil justru keberntakan. lewat bait ini penulisnya berpikir, "apakah ini hasil emansipasi Kartini?". Perempuan berkaca mata hitam ini kayanya juga menyimpan kerinduan yang teramat panjang. Apakah yang dirindui? Kebebasan berdandan? Kebebasan berpenampilan? Entahlah.

Lalu yang paling memprihatinkan ialah di ruang kelas enam esde Kecamatan Waru (nah kata "waru" ini kan bergambar daun cinta?) ada seorang guru yang keliru menafsirkan emansipasi: menyuruh anak sekolah menulis tentang Kartini dan menelantarkan anak-anaknya sendiri sehingga gagal memahami makna kehidupan. Semua itu tentulah bermuara atau menjadikan kerinduan yang teramat panjang. Kerinduan tentang apa? Tentu saja kerinduan memaknai kehidupan secara tepat, memahami hakikat emansipasi dan menerapkannya secara tepat. 

Sosok Kartini tampil beda di dua sajak gubahan D. Kemalawati (penyair perempuan berasal dari Aceh) dan sajak Ardi Nugroho (mudah-mudahan jadi penyair lelaki dari Sidoarjo, jawa Timur hehehehe). Perbedaan kedua sajak tersebut terbatas pada penampilan (perwujudan sajak) dan reinterpretasi terhadap sosok Kartini. Persamaannya, meskipun samar-samar, kedua sajak ini mengajak para pembacanya untuk bersikapwaspada, siaga, atau berjaga-jaga. Berjaga-jaga dalam hal apa? Berjaga-jaga terhadap aneka kemungkinan perubahan atau perkembangan budaya. Jika sajak D. Kemalawati penuh dengan simbol, sajak Ardi Nugroho juga memanfaatkan simbol yang digaloi dari lokalitas tempat, tetapi tempat itu hadir secara eksotik di dalam sajak seperti "Jembatan Porong","Pasar Larangan", "Gerbang kedatangan", dan "menulis Kartini bagi siswa kelas enam esde".

Perkembangan globalisasi dan perubahan tata nilai memang harus diwaspadai oleh siapa saja. Inilah saya kira moral value kedua sajak ini. Demikianlah perbandingan secara sekilas dua sajak yang sama-sama memiliki kekuatan eksspresi. Jika sajak D. Kemalawati tampil padat memikat, sajak Ardi Nugroho tampil "nakal" dan sedikit "Mbeling" gaya pengungkapannya. Kedua sajak ini, tentu saja, layak mendapat tempat di hati pembacanya masing-masing. Dengan dua sajak ini kita tak serta merta bisa memasukkannya ke dalam karya "penyair salon" yang menjadi keprihatinan Rendra (almarhum), sebab kedua sajak ini masing-masing memiliki konteks yang jelas, dan peduli pada realitas yang dijadikan pangkal tolak renungan kedua penyair.

Salam DAM, damai dalam persaudaraan
Jambi, Hari Kartini, 21 April2011.