Senin, 28 Februari 2011

SALAM CINTA KEMALAWATI



Oleh Damiri Mahmud

http://2.bp.blogspot.com/_wqFiXCoLlT4/TPg8SV_7IwI/AAAAAAAAAA0/lcsSK2UYBBw/s320/cover+Kemalawati.jpg



         D. Kemalawati, lahir 2 April 1965 di Meulaboh, Aceh Barat. Ia telah menulis puisi sejak 1980-an yang terkumpul dalam berbagai antologi. Kumpulan Surat dari Negeri Tak Bertuan adalah bukunya puisi yang pertama, diterbitkan oleh Lapena, Banda Aceh, 2006.  Meskipun sehari-harinya ia sibuk sebagai guru matematika di sekolah kejuruan di Banda Aceh dan menjadi ibu rumah tangga, namun ia tetap terus menulis. Bahkan di samping puisi, ia juga menulis opini dan beberapa cerpen. Ia pun telah menulis sebuah novel Seulusoh yang mengisahkan seorang gadis yang harus menolong seorang perempuan hamil di tengah ganasnya tsunami melanda Aceh.  Untuk semua kegiatannya itu, baru-baru ini Gubernur Nangroe Aceh Darussalam telah menganugerahi D. Kemalawati (dan beberapa rekannya) berupa Satya Lencana Kebudayaan.
Surat dari Negeri Tak Bertuan  berisi tumpang-tindih pengalaman Kemalawati sebagai manusia dan penyair yang menyaksikan berbagai fenomena di negerinya yang ia catat dengan nada yang  selalu perih dan buram. Buku ini berisi puisi-puisi penyair mulai tahun 1987 hingga 2005, sebagaimana kita tahu adalah tahun-tahun yang cukup berat dan prihatin bagi negerinya, Aceh. Dalam antara tahun itu terjadi berbagai peristiwa besar dan mengenaskan bagi rakyat Aceh. Gerakan Aceh Merdeka yang dideklarasikan tahun 1976 masih terus bergolak, hingga Pemerintah Orde Baru menetapkan status Daerah Operasi Militer (DOM) yang menyisakan kesengsaraan rakyat sipil dan kuburan massal. Kemudian era Reformasi yang memberikan kebebasan bersuara dan tiba-tiba bencana tsunami yang meluluhlantakkan negeri itu (meskipun memberi hikmah akan tejadinya kesepakatan anatara RI-GAM), semuanya digoreskan oleh D. Kemalawati dengan nada perih dan penuh empati dalam kumpulannya itu.
Adakalanya ia menyindir dengan halus, atau menangisi penderitaan manusia yang tergelanggang di depan matanya, tak jarang dalam larik-larik yang lantang ia terpaksa berteriak dan berseru mengapa hal-hal yang di luar jangkauan manusia yang beradab harus terjadi. Kadang ia merenung, mengapa dalam situasi di mana manusia harus menyelamatkan dirinya tapi ternyata tak mampu berbuat apa-apa sehingga menjadi korban keganasan secara semena-mena. Padahal manusia telah dilengkapi oleh Sang Maha Pencipta dengan kelengkapan yang sempurna untuk mengharungi dunia ini sebagai khalifah atau pemimpin.
bagai kunang-kunang yang mabuk cahaya
seakan bara siap mengharumkannya
perut sejengkal sudah sehasta
berbongkah-bongkah daging merah
gerah menari di lidahnya
...
kita tak belajar membaca tanda-tanda
         (Kita tak Belajar Membaca Tanda-tanda, baris 10-14 dan 20)
Mengapa manusia, renung penyair, ketika bencana dahsyat akan menerkamnya malah “bagai kunang-kunang yang mabuk cahaya” sehingga mara bahaya yang akan memangsanya “seakan bara siap mengharumkannya”. Inilah kehidupan manusia yang berada dalam dilema sehingga ia terperangkap ke dalam ironi yang tak terpahamkan. Bahkan hewan tatkala akan terjadinya malapetaka tsunami itu seakan tahu apa yang akan terjadi.
Banyak yang menyaksikan burung-burung putih di pantai pelabuhan Malahayati berbondong-bondong terbang ke bukit menjauhi laut tempatnya sehari-hari mencari rejeki, sementara manusia tatkala pasang tiba-tiba timpas dan ribuan ikan-ikan menggelupur di pinggir pantai menyangka itu sebagai rejeki dan berbondong-bondong ke pusat bahaya bagai kunang-kunang yang mabuk cahaya, sehingga ombak berbalik 180 derajat mereka menjadi mangsa yang empuk. Karena kita tak belajar membaca tanda-tanda. Padahal ombak atau alam ternyata patuh atau selalu mengikut kehendak manusia yang bertindak sebagai pemimpin di muka bumi. Alam membuka dirinya agar dapat dikenali dan dikendalikan:
agar siapapun kan merasakan
berbagai makna di kakiku
yang terus telanjang
              (Ombak, baris 3-6)
   Alam telanjang di hadapan manusia, supaya manusia dapat membaca berbagai makna di kakiku.  Manusialah yang harus arif membuka makna itu. Dan penyair menyarankan supaya misteri alam itu pertama-tama dibuka dengan rasa cinta.
angin liar menerpa wajah kita
ucapkan salam cinta
dan laut lepas tautkan makna
di ujung dermaga
            (Angin, baris 1-4)
Demikianlah sifat alam. Ia pada mulanya liar. Menyimpan berbagai misteri yang pada permukaannya kelihatan menyeramkan. Masuk ke hutan lebat manusia merasa ngeri. Menyelam ke dalam lautan menjadi ketakutan. Mereka menyangka di dalamnya penuh dengan hantu dan peri. Sehingga tak bisa memanfaatkannya secara maksimal dan berjarak dengan alam.
 Tapi tatkala ilmu dan teknologi telah dicapai manusia sebagai senjata atau peralatan yang mendedahkan rahasia alam itu, ia dikuras habis-habisan tanpa kenal ampun. Dengan iptek di tangannya manusia mengusir hantu dan peri dan sekali gus harta kekayaannya.  Di sinilah dilema itu. Ketika manusia dipenuhi ketakutan oleh takhyul dan khurafat ia berjarak dengan alam, tapi memperlakukannya secara santun dan hati-hati. Isi dan kekayaan alam itu diambil seperlunya sebatas kebutuhan yang sederhana. Ketika era teknologi tinggi telah diperoleh manusia, ia tak lagi berjarak dengan alam sehingga dapat memanfaatkannya semaksimal mungkin bahkan menguasai. Hal ini sebenarnya baik karena memang manusia telah dilantik Tuhan sebagai pemimpin di muka bumi. Masalahnya adalah kekuasaan selalu identik kesewenang-wenangan atau kezaliman. 
 Manusia selalu abai tatkala yang diimpikannya menjelma di depan mata. Nafsu serakah dan menguasai tiba-tiba muncul bagai makhluk buas yang saling terkam. Tak peduli lagi siapa kawan siapa lawan. Siapa pemilik dan yang mana perampok. Hal inilah yang terjadi yang memunculkan berbagai tragedi di bumi Aceh sebagaimana yang direkam dalam banyak puisi Kemalawati dalam kumpulan ini.
 Mereka lupa mengucapkan salam cinta kepada alam. Padahal jika demikian alam akan bersahabat dengan manusia, akan tautkan makna/di ujung dermaga. Ia akan patuh dan menyampaikan tujuan kita sehingga kita bisa hidup selaras.
Tapi alam sebagai makrokosmos, sebagai layaknya manusia yang mikrokosmos, tatkala ia terlalu diperas dan diperbudak ia melawan. Pada titik kulminasi itu alam menjadi ganas untuk mempertahankan dirinya. Ia mempecundangi manusia sehingga mereka terperangah. Ilmu pengetahuan dan teknologi yang mereka capai menjadi tumpul dan seperti tak ada artinya.
saudaraku, pernahkah kita diskusikan tentang
lidah ombak yang tiba-tiba menjulur panjang
dengan desisnya yang gemuruh menggulung
bukit dan gunung
menjilat bersih rawa-rawa menjadi samudera
padahal engkau hampir sampai di puncak ilmu
istri, anak dan saudaramu kau titipkan di rawa itu
                          (Rawa Itu Bernama Kajhu, bait II)
Manusia  terperanjat dan menjadi dungu. Ia bahkan tak pernah membayangkan sebelumnya malapetaka akan tejadi demikian ganasnya. Ilmu pengetahuan yang dibanggakannya menjadi sia-sia, malah bagai bumerang untuk mempersaksikan kebodohan itu dalam suatu dilema yang tragis dan memilukan, “padahal engkau hampir sampai di puncak ilmu/istri dan anak-anakmu kau titipkan di rawa itu”. Ini betul-betul suatu ironi. Ilmu pengetahuan selalu datang terlambat. Ia hanya bisa sebatas sintesa dan hipotesa, sehingga ketika sesuatu fenomena yang tanpa aksioma datang menerkam dirinya manusia bahkan menyambut kedatangannya dengan berpesta pora karena mengira akan datang sebuah keberuntungan atau sesuatu yang luar biasa dan agung.
orang-orang bepesta menyambut bulan
melebihi gemuruh ombak mereka mengundang badai
                       (Ujung Kareung, bait I)
Demikianlah tragisnya. Manusia yang telah dipenuhi hawa nafsu tak pernah lagi sadar dan tak lagi peka terhadap bahaya yang akan mengancam nyawanya bahkan sebaliknya malah memuaskan naluri hewani menyongsong tragedi itu.
“ia tak menari”, gemuruh percakapan langit
dibibir pantai sepenggal syair dihembus angin
tentang sajak tubuh yang luka
(kueja makna cinta di sana)
                 (Ujung Kareung, bait II)
Tatkala manusia tak lagi menghargai alam dan memperbudaknya, alam balik mempermainkan manusia. Manusia menyangka ia hidup bahagia dengan mengeksploatasi alam secara semena-mena, hidup mubazir laksana berdiam di sorga, padahal sebenarnya ketika itu “ia tak menari”. Manusia sedang diintip oleh limbah kerakusannya sendiri. Ia yang lupa daratan dan “berpesta menyambut bulan” bagai hidup di sorga, tiba-tiba musnah ditelan sejarah, yang tersisa hanya “sepenggal syair yang dihembus angin 
Namun demikian manusia masih mempertuhankan ilmunya, masih mempertuhankan dirinya tanpa sadar dan menginsyafi bahwa ia telah berada pada peringkat kezaliman  yang tinggi. Manusia yang sewenang-wenang, yang mempertuhan ilmu dan kekuasaannya, yang sebenarnya hanya segelintir dan berada di menara elit, telah merekayasa dunia ini dengan kehendaknya pada hal bukan dia yang menciptakannya.  Jasmaninya sarat dan berat dengan beban duniawi tapi batin telah keropos dan berkarat dalam lumpur dosa.
di negeri alunan azan menggema ke bulan
dendam mengikis cinta hingga ke akar
tak lagi syair menggugah kalbu
membasahi iman kering dan beku
                    (Negeri Peluru, bait III)
Tragisnya lagi, manusia elit ini telah membawa seluruh umat manusia ke dalam kancah nista dan bencana yang secara tak sadar telah dipersiapkannya sendiri dengan ilmu dan kekuasaannya.  Lalu umat, yang sebenarnya tak tahu apa-apa atau tak ikut terlibat merekayasa kezaliman itu, malah menjadi korban dan  menanggung akibatnya.   Maka di negeri sebagaimana yang dilukiskan penyair itu, di negeri nurani terusir, sudah pantas dan pada waktunya manusia menyadari dan menginsyafi kealpaan dirinya, kembali membasahi iman yang telah kering dan beku disebabkan petualangan yang telah begitu jauh dan menyesatkan.

Damiri Mahmud, kritikus sastra dan penyair tinggal di Medan

LAGU KEMATIAN DALAM BARIS PUISI PENYAIR



Oleh L.K.Ara

Malam itu penyair Deknong Kemalawati (lahir 1965) membaca puisi dan orang yang mendengar banyak terharu. Bahkan ada yang menitikkan air mata. Baca puisi penyair wanita kelahiran Meulabuh itu disiarkan Metro TV pada tgl 4 feb. hari Jumat tengah malam. Ada ratusan sms yang masuk dan sebagian menyatakan keterharuan mendengar baris-baris puisi yang ditulis Deknong. “Saya ikut terharu ketika penyair wanita itu membacakan puisinya. Semoga Aceh bangkit dengan keberkahan-Nya. Amin”. (Huzuan Lingga-Riau). Pada puisinya yang diberi judul “Sajak Untuk Pelukis Ombakku” penyair menggambarkan kehilangan seorang sahabatnya pelukis Vennny yang raib oleh bencana alam tsunami. Dibayangkan sajak yang ditulis penyair tak ada artinya lagi. Karena ombak yang dilukis Venny tak dapat lagi mendamaikan hati si aku lirik. Karena buih ombak yang biasanya menghempas ketepian lembut dan bersuara merdu. Tapi sekarang ombak itu telah berobah jadi garang, ombak itu kini marah. Digambarkan tubuh ombak itu begitu tinggi telah menyentuh langit dan begitu ganas sehingga membinasakan apa saja yang ditemuinya. Kata penyair,
apakah artinya sajakku ini
 ketika ombak yang kau lukiskan di kanvas biru
tak lagi mendamaikan hatiku
buihnya tak putih lagi membelai tepian
ia telah murka
tubuhnya yang jenjang menyentuh langit
menerkam apa saja

Pada bait berikutnya dilukiskan bagaimana sahabatnya itu dengan setia menolong dan mengobatisuaminya yang sedang sakit.  Memberi bedak pada punggung sang suaminya yang tak lain adalah penyair M.Nurgani Asyik. Sahabat penyair juga  dibayangkan  memandikan dan bercanda dengan anaknya yang masih kecil. Sementara dibayangkan pula sahabatnya itu sedang menyisir rambut si buah hati. Tulis penyair, “
apakah pagi itu engkau masih membedaki punggung suamimu
yang lelah berbaring seharian
memandikan sikecilmu sambil mencandai keningnya yang lucu
atau sedang menyisir rambut keriting gadismu yang ayu
Penyair mengulang kembali baris puisinya “apakah artinya sajakku ini” untuk meyakinkan bahwa puisi tak ada lagi gunanya sementara  jasad seorang sahabatpun tak bisa diterka berada dimana ditengah-tengah mayat  yang rubuh bergelimpangan. Ada yang terjepit ditindih bangunan. Mayat-mayat itu di tumpuk dipinggir jalan terbungkus kantong-kantong hitam. Dalam kesedihan dan kekalutan demikian si aku lirik bertanya dalam hati,
engkaukah yang masih terbaring
diantara tubuh legam, kaku dan kesepian
terjepit diantara puing-puing reruntuhan
engkaukah itu yang dibalut kantong-kantong hitam
ditumpuki dipinggir-pinggir jalan
Yang menyayat hati si aku lirik pula adalah ketika mengingat mayat sahabatnya tak sempat ikut memandikan, “tanpa air terakhir dan kain kafan”.Kesedihan semakin bertambah ketika penyair masih bertanya apakah mayat sahabatnya pelukis Veny, “yang diantar relawan ke tempat pekuburan massal, /ke liang-liang panjang pekuburan/tanpa kutemukan batu nisan”.Pada puisi yang ditulis Deknong, dua minggu setelah bencana tsunami, tepatnya tgl 9-10 Januari 2005 ini penyair juga menggambarkan si aku lirik mencoba menyusuri jalan kerumah sang pelukis,
aku lelah menyusuri lorong-lorong hampa
mencari jejak rumahmu
menemukan sisa-sisa lukisan di dindingnya
atau memungut kuas kecil
saat kau lukiskan ombak itu
Citra manusia yang pasrah kepada kehendak Tuhan tampak pada bait akhir puisi. Sang penyair dengan nada sedih melukiskan si aku lirik hanya bisa memandang ombak dalam lukisan sahabatnya yang sudah tiada. Lalu dengan pasrah melepas sahabat, penyair berzikir dan berdoa,
dalam lukisanmu
dalam ikhlas zikirku ,tahlilku, tahmidku
kumohonkan pada Mu ya Allah
sucikan jasad saudara-saudaraku
yang pulang dalam gemuruh ombak-Mu

Penyair Azhari (lahir 1981) ketika pulang dari luar daerah menyaksikan kampungnya sudah lenyap. Rumah serta ayah bunda serta adiknya sudah tiada. Dalam puisinya “Ibuku Bersayap Merah” penyair melukiskan si aku lirik pulang setelah bencana tsunami ingin melihat orang tua dan saudara serta kampong tapi ditemuinya semua sudah tiada.
Kukira 26 Desember cuma mimpi buruk
tapi tak kutemukan kalian disana
juga Arif kecil yang cerewet
Apa yang dibayangkan penyair setelah pulang dan tak menemukan  orang tua yang dihormati dan adik yang disayangi? Kata penyair,
seperti kalian,kampung kita ternyata sudah tiada
berubah menjadi laut yang raya
lihat ibu ada bangau putih
berdiri dengan sebelah kaki di bekas kamarmu
bangau itu tak bersayap merah
seperti dulu pernah kau ceritakan padaku

Citra manusia yang pasrah pada Tuhan nampak pula pada baris-baris puisi Azhari.

karena aku tahu bangau itu telah memberikan sayap
merahnya buatmu
agar kau peluk Abah dan Dik Nong ke dalamnya. 
Baris-baris sedih yang menjerit dapat ditemui dalam puisi Rendra “Di mana kamu De’Na?” Kepada  De’Na seorang kenalan penyair di Aceh ketika terjadi musibah tsunami bertanya sambil menjerit sedih. Digambarkan pada bencana itu orang-orang berlarian dikejar gelombang yang dahsyat. Disertai pula datangnya gempa merubuhkan gedung-gedung dan membelah jalan raya. Sebagai akibat bencana alam ini dilukiskan manusia menjadi tak berguna, menjadi sampah. Petikannya,
De’Na, hatiku menjerit pilu
Di mana kamu? Bagaimana kamu?
Yang tak bisa kutolak dalam bayangan
Meski mataku terbuka atau terpejam
Adalah gambaran orang banyak berlarian
Dikejar gelombang 23 meter tingginya
Dan lalu gempa yang menenggelamkan  gedung-gedung tinggi
Membelah jalan raya
Menjadi jurang menganga
Ribuan manusia menjadi sampah
Dalam badai

Lagu kematian yang menyayat telah diguratkan penyair Taufiq Ismail dalam baris-baris puisi berjudul “Membaca Tanda-Tanda”. Ketika bencana tsunami terjadi digambarkan cuaca  Aceh berudara mendung dan berwarna abu-abu. Burung-burung kecil yang biasanya berkicau pagi hari pada saat itu tak terdengar lagi bernyanyi. Yang nampak puluhan mayat, bahkan ratusan serta ribuan mayat. Pemandangan yang terhampar dan mengerikan  adalah puing, lumpur, potongan kayu, besi dan bangkai kenderaan.
Apa yang dibawa bencana tsunami? “Tsunami membawa banjir air/air mata”, kata penyair.  Kemudian apa lagi yang terjadi? Sesuatu yang memilukan suara-suara jeritan yang terdengar ditengah alam semesta,

Jeritan anak yang kehilangan ayah
Jeritan ayah yang kehilangan anak
Jeritan isteri yang kematian suami
Jeritan suami yang kematian isteri
Jeritan keluarga yang kehilangan semuanya
Jeritan bangsa yang kehabisan segalanya

Jeritan yang menggema ditengah alam raya itu ternyata bukan hanya antara anak dan ayah, antara ayah dan anak, antara isteri dan suami, antara suami dan isteri, antara keluarga tapi juga jeritan bangsa.
Pada bagian akhir puisi panjang yang ditulis akhir 2004 ini penyair memperlihatkan citra manusia yang pasrah pada Tuhan. Digambarkan kesadaran bahwa betapa banyak dosa dan betapa banyak pula kelemahan. Menjadari itu penyair menggambarkan permohonan harapan, “beri kami kekuatan/untuk bangkit kembali”.

* LK Ara, penyair kelahiran Takengon, Aceh Tengah

TRAGEDI ACEH DALAM KARYA PUISI PEREMPUAN PENYAIR ACEH



Oleh LK Ara


         Tragedi kemanusiaan di Aceh telah mendorong para seniman menggoreskan penanya untuk melahirkan karya yang abadi. Para penyair Taufiq Ismail, Rendra, D. Zawawi Imron, Hamid Jabbar, Danarto, Ikranegara, -untuk menyebut beberapa nama- telah melahirkan puisi yang menyentuh. Pengarang cerpen Hamsad Rangkuti, Motinggo Busye, Helvy Tiana Rosa telah menelorkan cerpen bertema tragedi Aceh. Pengarang drama Ratno Sarumpaet telah pula menciptakan LIA sebuah naskah lakon yang sungguh pekat mengisahkan tragedi kamanusiaan di Aceh.

           Beberapa perempuan penyair telah pula tergerak hatinya untuk melukiskan tragedi kemanusiaan di Aceh dalam karya puisi. Mereka adalah D. Kemalawati dan Rosni Idham.

          Perempuan penyair D. Kemalawati yang memiliki nama akrab Deknong, yang lahir di pantai barat, tepatnya di Kota Meulaboh, Aceh, 2 April 1965 menulis puluhan puisi yang betema tragedi kemanusiaan di Aceh. Deknong merupakan salah seorang perempuan penyair Aceh yang sangat produkstif. Beberapa diantaranya adalah, “Daraku Mabuk Sendiri”, “Kelu”, “Kelu II”, “Merajut Gundah dalam Ribut Badai”, dan “Menanti Hujan”.

          Pada puisi “Daraku Mabuk Sendiri” penyair menggambarkan secara pantastis dara menari diatas awan. Namun pada kaki dara yang menari itu ada cendawan yang meracuni. Dilukiskan sang dara memang sedang mabuk sendiri. Ia menguap, ia mengasapi sekolah abu, dan dara itu juga merintih. Petikannya,

menari diatas cawan
cendawan meracuni kaki
dara ku mabuk sendiri, menguap berkali-kali
belia tanpa canda membakar kembang ungu
mengasapi sekolah abu
dalam rintih yang tertindih

         Pada baris-baris berikutnya penyair melukiskan sang dara berada ditempat orang bermain kupu. Sebagai layaknya kupu ia dengan leluasa bisa terbang dan itu dilakukannya sebelum kakinya dinodai cendawan. Kata penyair, “dara ku mabuk sendiri/ ini 'kahyangan' tempat peri bermain kupu/ia ikut terbang melayang sebelum cendawan/menghitamkan kakinya”.

         Selaras dengan kisah dara yang menari, penyair mempunyai kesempatan memasukkan nama jenis tarian Aceh dalam puisinya seperti, ‘Laweut’ dan ‘Ratoh’. Lalu penyair membayangkan kini tarian Laweut terkubur dihutan sepi. Karena tarian itu tak lagi dipagelarkan. Berbeda ketika keadaan aman tarian itu sering ditampilkan dalam berbagai acara misalnya pesta perkawinan, pada hari-hari besar kenegaraan. Begitu juga dengan tari Ratoh tak lagi dapat disaksikan.

kini 'laweut'nya terkubur dihutan sepi
'ratoh'nya mengambang di ketiak pelangi
'siluet' panjang renjana merajah mimpi
ah, dara ku mabuk sendiri
membelit seribu mentari

Banda Aceh, Mei 2003
(dari “Aceh Dalam Puisi”)
       Dalam sajak “Merajut Gundah Dalam Ribut Badai” dilukisan betapa perasaan gundah itu menyiksa. Digambarkan tangan orang yang gundah yang mengait benang tak kunjung terkait, karena perasaan gundah yang terus menerus mendera. Kata penyair, /tangan terus mengait/benang tak kunjung terkait/badai terus gemuruh/riuh tak kunjung berhenti “.

       Kini keadaan semakin parah, bukan hanya orang yang gundah tak dapat mengait benang, tapi juga telah karam di pusaran. Ya, seorang tua renta yang bekerja merajut selimut tak mencapai hasil karena benang yang dipakai basah dan melekat pula digulungannya. Untuk sang tuaa merajut selimut ? Tak lain untuk bocah busung yang diusung tengah malam. Melihat keadaan sang bocah si tua menarik benang untuk meneyelesaikan pekerjaannya meskipun tangannya berdarah. Puisi ini menggunakan simbul-simbul alam yang dekat dengan masyarakat luas, seperti, laut, benang, selimut, sehingga mudah difahami. Sajak ini ditutup dengan bait,

laut dalam pusaran
mata dalam pinangan
salam dalam kepungan
bocah busung di persimpangan

Banda Aceh, Agustus 2003

       Deknong berteater sejak SMA bergabung dengan Teater Desir Kota Meulaboh. Semasa kuliah di FKIP Unsyiah Banda Aceh bergabung dengan Teater Improvisasi Banda Aceh pimpinan Hasyim KS dan pernah memerankan tokoh "Miranda" dalam drama "Eksekusi" karya Anton Chekov tahun 1989. Salah seorang lawan mainnya, Helmi Hass, wartawan yang juga seniman, akhirnya mempersunting dirinya tiga tahun kemudian. Selain di Aceh, Deknong juga pernah melakukan pementasan di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta.

       Alumnus FKIP Matematik Unyiah ini, semula bertugas sebagai guru SMEA Negeri Meulaboh dan sejak 1 Oktober 1993, pindah ke Banda Aceh dan bertugas di STM Negeri (SMK Negeri 2) Banda Aceh. D Kemalawati, selain sebagai pendidik, lebih memfokuskan diri pada dunia sastra. Terutama menulis puisi, cerpen dan artikel budaya. Karya-karyanya disiarkan dalam media massa, di Aceh, Medan dan Jakarta.

       Puisinya terdapat dalam antologi puisi “Nafas Tanah Rencong” bersama Pertiwi Hasan, “Dendam Air Mata”, “Musim Bermula” (bersama Penyair Wanita se-Sumatera), “Aceh Mendesah Dalam Nafasku” (bersama penyair Indonesia), “Seulawah” (1995), “Keranda-Keranda” dan antologi puisi “Kemah Seniman Aceh” dan “Aceh dalam Puisi” (2003).

ROSNI IDHAM
       
       Penyair Rosni Idham pernah mendapat pujian dari A.Hasjmy. Hal ini terjadi ketika berlangsung acara Muzakarah Pengembangan Pantai Barat. Dalam acara itu Rosni Idham membaca puisi karya sendiri berjudul “Teuku Umar Pahlawan”. Sebuah sajak bernafas kepahlawanan.

       Ketika terjadi konflik di Aceh, Rosni sebagai salah seorang perempuan penyair terkemuka di Aceh menulis “sekerangjang puisi”. Sebagian kecil dimuat dalam buku “Aceh Dalam Puisi” (Pen. Syaamil , 2003). Yakni, “Begitu Lelapkah Tidurmu”, “Kepada Ibu”, “Negeri Terluka”, dan “Negeri Terluka II”.

       Dalam puisi “Negeri Terluka” agaknya dari judulnya saja orang bisa maklum bahwa sajak itu akan mengisahkan derita sebuah negeri. Dan betul saja baris awal sudah menggambarkan darah mengalir. Lebih dahsyat lagi darah itu mengalir dari setiap lobang roma.. Begitulah baris berikutnya melukiskan bukan hanya darah tapi juga nanah mengalir disetiap rongga jiwa. Oleh itu semua maka air dan tanahpun dilukiskan diwarnai darah dan nanah. Apa yang terjadi dengan luka? “Luka kian menganga”. Akibatnya kini luka itu menebarkan bau busuk. Dan bau busuk pun tersebar ke rumah-rumah tetangga. Apa daya mengobati ini? Sudah diusahakan penawar namun yang luka belum sembuh juga. Menyadari ini semua penyair merasakan yang terluka adalah dirinya juga. Bukankah penyair bagian dari masyarakat. Bila terluka sebuah negeri dan masyarakatnya maka penyair ikut berasakannya. Dan puisi merupakan ekspressinya,

Luka kian menganga
Menebarkan bau busuk
Ke rumah-rumah tetangga
Beragam penawar tak sembuh jua

Ah........
Negeriku terluka
Lukamu lukaku jua
Lukamu luka kami semua
       Berbeda dengan puisi “Negeri Terluka” dalam sajak “Begitu Lelapkah Tidurmu” ada semacam pertanyaan yang sekali gus mengugat. Pada bagian awal segera timbul pertanyaan ‘begitu lelapkah tidurmu.

       Pertanyaan ini timbul karena keadaan sekitar sudah berobah. Rumah dan gedung terbakar. Ribuan jumlahnya. Kaum lelaki ribuan juga banyak pergi tak pernah kembali. Anak yatim hadir ribuan pula jumlahnya. Begitu juga kaum perempuan tak sedikit menjadi janda. Meski kejadian demikian dahsyat terjadi sekitar kita namun masih ada yang belum terjaga, yang peduli pada keadaan itu.

       Lanjutan puisi itu berkisah tentang prahara yang terjadi dan mendera. Bayangkan hak hidup ditindas dan dirampas. Belum lagi harta benda yang diambil, dirampas. Dan itu semua dilakukan dengan tak merasa belas sedikitpun. Kejadian ini terus menerus berlangsung. Kepada siapa diadukan dan dituntut?

sejuta prahara mendera memelas
hak-hak hidup ditindas dirampas
harta benda tak henti dikuras
tanpa rasa belas
kemana hendak menuntut balas
selalu tak jelas
sungguh tak jelas

adakah mega hitam
membungkus kekar dadamu
menghalang pandang menjerat langkah
mengatup mulut membungkam lidah
adakah yang menangguk di keruh teluk
mengancam menunduk angguk
       Pada bagian akhir puisi ini penyair memperlihatkan bahwa kita sama. Kita bersaudara. Jadi mestinya tidak saling menodai. Bahkan kita harus saling membantu karena ‘kita lahir dari rahim yang sama’ yakni rahim Ibu Pertiwi. Dan untuk menjalin dan membuhul tali kebersamaan itu harus diciptakan sama rasa sama cita-cita meski warna pakaian kita berbeda-beda.

       Rosni Idham lahir tgl 6 Maret l953, di desa Sawang Mane, Aceh Barat. Pernah sekolah pada PGAN 6 tahun di Meulabuh, kemudian bekerja sebagai guru agama . Pada tahun l975 -l979 bekerja sebagai staf Humas Pemda Aceh Barat. Selama 5 tahun (l980-l985) ia menjadi staf Seksi Kebudayaan Kandep Dikbud Kebupaten Aceh Barat. Kemu¬dian pindah ke Sanggar Belajar (SKB).

       Ia mulai menulis sejak l978 berupa puisi, cerpen dan esai. Karyanya dimuat diberbagai harian yang terbit di daerah dan ibukota. Juga sering disiarkan melalui radio Pemda Aceh Barat. Sebagai seniman ia juga menghadiri pertemuan budaya antara lain, 'Dialog Utara IV' di Medan, 'Dialog Utara V' di Malaysia, 'Dialog Utara VI' di Langsa, Aceh, 'Porum Puisi Indonesia' di Jakarta.

       Selain sebagai penyair yang tampil membacakan puisi diberba¬gai pertemuan budaya, Rosni juga dikenal luas sebagi MC. Terutama di Aceh Barat. Begitulah ketika acara Muzakarah Pengembangan Pantai Barat Selatan dibuka Menkop Bustanil Arifin SH, Rosni dengan suara yang khas bertindak sebagai MC. 

*LK Ara, penyair tinggal di Aceh dan Jakarta