Minggu, 13 Maret 2011

Puisi, saling Menginspirasi



Oleh D Kemalawati


Sumber inspirasi menulis puisi bisa dari mana saja. Pernyataan itu tentu tak perlu kita bantah. Menonton telivisi yang menayangkan bagaimana dahsyatnya gempa bumi melanda sebuah pulau,bagaimana bangunan bertingkat seolah menari-nari saat gempa berskala tinggi menggoyangnya, akan menjadi inspirasi bagi seorang penulis puisi untuk menuliskan syairnya. Bagaimana banjir bandang menghanyutkan gelondongan kayu dengan airnya kuning dan berat meluncur dengan kekuatan dahsyat, menghantam semua penghalang dan menghancur leburkan seluruh infrasruktur yang ada hingga nyawa manusia direnggutnya. Melihat tubuh manusia yang tergulung, berputar diantara air yang memburu kemudian tergeletak dibalut lumpur, tak bergerak, naluri penyair akan berpendar-pendar mencari kata yang tepat menggumamkan rasa dukanya.

Penyair menyampaikan semua rasa yang bergejolak di jiwanya dengan menyusun kata yang kadang menusuk para pembacanya tepat pada sasarannya. Ada penyair yang berhasil mengumpulkan kekuatan kata-kata sehingga puisinya dimaknai seperti yang dikehendaki. Tetapi tidak sedikit penyair yang mencari cara lain agar puisi-puisinya mengajak pembaca berimajinasi lebih liar dari penulisnya sendiri.

Tak ada patokan yang harus dipatuhi seorang penyair kecuali menjaga rambu-rambu seadanya selebihnya adalah rasa yang ditawarkan kepada pembaca yang kemudian dicecap oleh pikiran perasaan pembaca bahwa puisi yang dihasilkan oleh penyair tersebut mempunyai cita rasa tinggi. Dan seperti juga makanan yang enak di lidah orang yang gemar memasak, dia akan selalu terinspirasi bila memakan makanan dengan cita rasa yang belum pernah dirasa untuk memasak dengan rasa yang sama. Tentu dengan mengetahui bumbu-bumbu apa yang ada dalam racikan makan yang baru pertama dinikmatinya.

Demikian juga penyair. Dalam hal ini, saya ingin berbagi bagaimana sebuah puisi yang saya tulis membalas SMS seorang sahabat hati (meminjam istilah penyair Dimas Arika Mihardja) bapak Arsyad Indradi yang mengabarkan kepada saya tentang kebahagiaannya karna baru saja mendapat anugerah dari Allah SWT seorang cucu laki-laki. Meski bukan cucu pertama, tapi bagi sang kakek yang sastrawan Indonesia yang sangat bergiat dalam dunia maya, lewat blog Penyair Nusantara dan beberapa blog lainnya yang beliau kelola, hal ini adalah kebahagiaan yang tak cukup kata untuk melukisnya. Dan saya membalas SMS beliau dengan puisi singkat yang saya beri judul Menimang Cucu.
SMS yang terkirim itu masih saya simpan, dan saya yakin bapak Arsyad Indradi pun masih menyimpannya. Berikut saya turunkan di sini SMS tersebut.

MENIMANG CUCU
Kepada Arsyad Indradi

D Kemalawati

Setelah takbir kau perdengarkan
geliatnya kelihatan nyata
sembari mengucap syukur
kau raba detak jantungmu
menyamakan dengan denyut nadinya
sungguh waktu memberimu debar itu
sebagai jelmaan diri
kau simak tangis pertamanya
sebagai puisi berima muda
mendaratlah kasih dalam kecupan
entah telah berapa lama
kau simpan wanginya
sebelum ia dalam pelukan.

Banda Aceh, 10 Maret 2011

Setelah puisi itu terkirim ke bapak Arsyad, dan beliau membalas: “Trimakasih mba De bingkisan puisinya. Cucu pertama kedua orangtuanya teriak kaget campur kagum karena kukasih tongkat dan mahkota dewa di fotonya dan daku jadikan foto profilku di FB. Oya mba De kita berempat baca puisi di gunung wayang, nanti daku pasangkan di blog mba De.”
Demikian SMS balasan bapak Arsyad. Ya, rumoh sastra dkeumalawati tampil jauh lebih indah setelah campur tangan bapak Arsyad Indradi. Puisi- puisi yang ada di bawah rumah wayang adalah puisi SMS yang diabadikan bapak Arsyad sehingga ikatan kekerabatan dengan foto kami (Arsyad Indradi, Diah Hadaning, De kemalawati dan Dimas Arika Mihardja) tampil lebih simetris dan menarik.

Apa yang saya tuliskan sebagai prolog ini sebenarnya adalah suatu pembuka perbincangan yang biasanya kami lakukan di ruang diskusi Rabu sore di lembaga kami, Lapena. Karena berbagai kesibukan ruang diskusi rabu sore itu sudah vakum dalam waktu yang lama. Dan sebagai pelepas rasa kangen saya dengan teman-teman peserta diskusi yang biasa hadir nyata di lapena, maka lewat lembaran catatan ini saya berbagi dengan teman teman bagaimana puisi itu sebenarnya saling mengispirasikan bagi sesama penyair.

Puisi Menimang Cucu yang saya kirimkan spontan ke bapak Arsyad Indradi seperti yang saya tuliskan di atas, kemudian saya baca ulang lalu saya edit beberapa bagian sehingga saya yakin untuk menetap  di Rumoh Sastra D Keumalawati dan Romoh Puisi Kemala. Setelah muncul di halaman depan blog, saya  pikir tak salah kalau saya juga berbagi di FB.  Dan ternyata setelah saya terbitkan dengan menandai beberapa teman yang bagi saya meski pun ruangnya berbeda, mereka tak lain adalah teman berbincang di diskusi Rabu sore Lapena, komentar teman-teman disana tak hanya komentar biasa tetapi juga puisi-puisi yang dilahirkan spontan oleh teman-teman penyair seperti yang saya kutip berikut ini. Saya mulai dengan puisi saya.

MENIMANG CUCU
Kepada Arsyad Indradi
D Kemalawati

Setelah takbir kau perdengarkan
geliatnya kelihatan nyata 
sembari mengucap syukur
kau raba detak jantungmu
menyamakan dengan denyut nadinya
kau simak tangis pertamanya
sebagai puisi berima muda
mendaratlah kasih dalam kecupan
entah telah berapa lama menghidu wanginya
sebelum kau timang dia

Banda Aceh, 10 Maret 2010
Komen pertama yang menuliskan puisinya untuk Bapak Arsyad datang dari Dimas Arika Mihardja.


MENIMANG CINTA, MEMINANG KASIH
~ bait-bait buat abah arsyad indradi

Dimas Arika Mihardja

seusai kautancapkan gunungan lengkap dengan wajah ceria
angin lalu bercerita tentang desah kasih, ciuman putih
ingin jemari ini tak letih menguntai ruas doa buat abah
untuk pewaris riwayat cinta berbusana kasih

Puisi itu dituliskan beberapa saat setelah puisi saya Menimang Cucu itu saya berhasil diterbitkan di FB. Dan komentar kedua yang menuliskan puisinya juga untuk bapak Arsyad dengan nada yang sama muncul dari Yssika Susastra. Berikut ini aslinya.

DALAM BAYANG IMPIAN
Yessika Susastra

engkaukah cucuku? darah daging yang kuderaskan pada denyut
jantung yang bernama kekasih? ah, senyummu sepertinya aku hafal
sejak nenekmu dulu mencium punggung tangan saat ikrar
sebelum persandingan

engkaukah? ah, alangkah cantik mungil bibirmu
apakah yang kaubisikkan? abah?o, aku kakekmu
yang lucu, hayo tersenyumlah

duh, basah deh sarung kakek terkena pipismu
tapi enggak apa, pipislah lagi
basuh dada kakek dengan kehangatan

engkaulah? ah, kakek bahagia

Puisi itu juga tak berselang lama muncul di layar sama setelah beberapa komentar lainnya. Puisi berikutnya ditulis oleh penyair Moh Gufron Cholid yang di bawahnya dituliskan tanggal  penulisannya yaitu 11 Maret, satu hari setelah puisi Menimang Cucu saya publikasikan.
ADA SURGA DALAM KECUPMU
: Arsyad Indradi

Moh Gufron Cholid

Ada surga dalam kecupmu
Saat kau timang cucu
...Dalam debar rindu

Ada surga dalam kecupmu
Kebahagian menjadi tugu
Dunia pun cemburu
Sebab karunia tak henti memburu
Ramai sunyi hidupmu

Kamar Hati, 11 Maret 2011

Terinspirasi dengan puisi Menimang Cucu, seorang teman guru yang handal dalam menulis cerpen dan pernah beberapa kali memenangkan Sayembara Menulis Cerpen Guru (LMCP) yang diadakan Diknas Herni fauziah, kini bermukim di Medan, Sumatra Utara juga menulis puisi dengan judul yang sama Menimang Cucu. Sambil tertawa-tawa di telpon Herni yang akrab kupanggil Tata itu mengatakan kalau dia terinspirasi dengan puisi saya dan sengaja memakai judul itu sebagai tandingan. Berikut puisi yang diterbitkan di note-nya Herni Fauziah.
MENIMANG CUCU
Herni Fauziah
Seorang perempuan renta
melantunkan senandung buaian
tak berirama

Ceracau-ceracau
bagai suara mantera di antara wangi dupa
Seorang bocah
bertelanjang dada
meringkuk
merengkuh tubuhnya berselimut kain kumal, pudar warnanya

Gigil-gigil sisa tangisan tadi malam
masih lekat di gurat-gurat wajahnya
senandung buaian masih terdengar
mengisahkan cerita yang tertunda

Ayah tiada
Bunda di Saudi Arabia
bersandar di bahu yang renta
rapuh pula
dengan buaian kehilangan irama
senandung terus terdengar
entah sampai ke lembaran berapa
mereka tak berani menerka


Medan, 11 Maret 2011
Dengan tidak bermaksud mengatakan siapa menginspirasi siapa, dan juga tidak bermaksud memberikan suatu kesimpulan yang mutlak, dari apa yang saya dapatkan dalam menulis catatan di FB berupa puisi yang sangat sederhana telah lahir beberapa puisi yang sangat menginspirasi dan layak untuk dibincangkan. Tentu bagi mereka yang menulis di komentar puisi saya masih terbuka peluang untuk mereka mengubahnya dan menuliskan kembali di catatan mereka. Demikian, salam sastra De Kemalawati

Banda Aceh, 13 Maret 2011

Sabtu, 05 Maret 2011

SANG PENGKISAH ITU TERBANG BERSAMA BURUNG-BURUNG BERSAYAP AIR

(Pengantar Peluncuran Buku Puisi Dewi Nova)

 Oleh D Kemalawati


Bagaimana membahasakan sebuah kisah tetapi tidak membuat orang berpaling membacanya bahkan menulis kembali dalam pikirannya menjadi kisah yang lebih panjang, lebih menusuk bahkan lebih berliku dari yang dibaca semula. Sungguh hal tersebut tak mudah bagi sembarang orang. Tidak juga bagi setiap orang yang bekerja sebagai penulis  kisah. Dan apa yang dibahasakan oleh  Dewi Nova dalam kumpulan puisinya ‘Burung-burung Bersayap Air’ (JAKER, 2010),  adalah suatu kepiawaian menulis kisah dalam kalimat-kalimat singkat yang kemudian berakhir dengan kisah yang panjang dan menetap dalam pikiran kita, para pembacanya.  

Membicarakan buku puisi Dewi Nova yang hanya memuat 47 judul puisi dengan tebal buku 60-an halaman,  berarti membicarakan kepiawaian Nova dalam mengkisahkan kembali apa yang dilihat, di dengar, dibaca ke dalam   untaian kata yang lugas, puitis, tajam dan menusuk. Kita pembaca dengan serta merta diajak masuk dalam kisahnya dengan membawa kembali kisah itu ke dalam pikiran kita. Mari kita simak sebuah berita dari Aceh (halaman 1) yang ditulis oleh Nova dengan judul dan isi tanpa basa-basi.


BERITA DARI ACEH

Malam ini
seorang perempuan
diperkosa di rumahnya
juga malam sebelumnya
dan pada malam-malam hitam selanjutnya
atau… suaminya dalam tahanan
akan di DOR!

Kemarin
seorang perempuan  ditemukan telah menjadi mayat
kedua payudaranya dipotong
juga lelaki yang dilindunginya
ia pun menjadi  telah mayat

Jakarta, 13 Januari 2004

Nova memulai dengan  menulis waktu, malam ini. Waktu memang begitu penting pada setiap pengkisahan baik lisan mau pun tulisan. Apa yang terjadi malam ini dikisahkan oleh Nova dengan bahasa  apa adanya, seorang perempuan diperkosa di rumahnya. Lalu malam sebelumnya,  malam sesudahnya  dan pada baris terakhir bait pertama  ‘ atau… suaminya di tahanan akan di DOR!.’  Apa yang ditulis Nova adalah kabar sebenarnya yang dia peroleh dari Aceh dan ditulisnya di Jakarta pada Januari 2004. Kalau menilik tanggal penulisan maka yang muncul dalam pikiran kita bagaimana situasi Aceh saat itu. Perempuan yang harus menerima perlakuan keji dari mereka yang seharusnya melindungi warganya. Lelaki Aceh dengan mudah di penjara meski kenyataannya dia hanya petani biasa atau pedagang kecil yang mencari sesuap nasi dengan keringat dan tenaganya yang tak seberapa. Dengan memenjarakan lelaki, maka perempuannya akan mudah diperkosa dan meski pun sudah sangat terhina masih harus pasrah lelakinya dipenjara dipulangkan tak nyawa. Dan yang lebih parah lagi bagaimana perempuan yang terpaksa melindungi lelaki harus  merelakan nyawanya dengan kedua payudaranya dipotong. 
Dari sebuah puisi yang ditulis Nova, kejadian-kejadian pahit yang dialami perempuan Aceh kembali hadir di memori kita. Lalu dengan serta merta kita kisah-kisah lain akan bermuara lalu mengalir  berakhir dalam  samudra pikiran kita.

Nova tak hanya berkisah dengan bahasa lugas tanpa basa-basi. Dengan bahasa yang lebih bersayap Nova mengisahkan kembali apa yang didengarnya dari perempuan-perempuan Aceh yang ditemukan di Bukit Janda. Dalam puisinya yang terpanjang  (hal, 9-13) yang di beri judul ‘Tutur Inong Aceh’  Nova kelihatan sangat piawai mengaduk-aduk emosi kita pembaca.  Simaklah bagaimana Nova memulai kisahnya

Waktu malam merambat
waktu rintik bergulir pada daun coklat
waktu kami duduk melingkar
waktu kami bertutur

Membaca bait pertama kita tak membayang kan betapa getirnya tutur inong Aceh yang akan dikisahnya pada bait-bait berikutnya.

Inong cantik:

Tulis Nova pada bait kedua.

Mereka membunuh suamiku
mereka menginterogasi dan menyiksaku
mereka menelanjangiku
pada masa DOM
pada masa DOM
pada masa DOM

Pada bait berikutnya dengan sangat lancar Nova mengkisahkan kembali apa yang didengarnya dari Inong Cerdik,  bagaimana ia menjadi penterjemah bahasa bagi mereka yang menyiksa Inong Cantik dan itu terjadi di rumah Inong Cerdik yang meski disebut cerdik tapi selama tiga bulan hanya memeras airmata. Semua tutur para perempuan dengan berbagai kisah ditandai Nova dengan memberi nama. Ia menyebut Inong Cinta sekaligus Inong Bale untuk perempuan yang menceritakan penderitaannya karena suaminya diculik.  Lalu dengan beberapa kalimat saja, Nova sudah mengkisahkan siapa tentera siang dan tentera malam, apa yang dilakukan tentera malam dan apa yang dilakukan tentera siang yang kesemuanya menggambarkan bagaimana terjepitnya Inong Cinta. Bagaimana Inong Cinta harus menerima kenyataan, ketika anak yang dipaksanya meninggalkan kampung   karena dia tak yakin mampu  melindungi nya dari jerat tentera siang mau pun tentrera malam, akhirnya menjadi korban tsunami. Nova menulis:

Di Banda, anakku dijemput tsunami
“Ibu tak bermaksud  untuk memilihmu antara tentera dan tsunami.”

Selain Inong cantik, Inong Cerdik, Inong Cinta, Nova juga mengkisahkan apa yang didengar dari inong tangguh. Ternyata tak semua lelaki meninggalkan perempuan karena menjadi milisi atau tentera malam. Nova menulis :

Inong Tangguh:
suamiku meninggalkan aku dan 6 anak
tidak untuk jadi milisi
tidak untuk jadi tentara malam
untuk menyelamatkan diri sambil menikahi
perempuan lain
dan melupakan kami.

Apa yang didengar Nova dari perempuan yang duduk melingkar itu sungguh suatu tragedy yang membekas dan tak mudah hilang dari ingatan. Tetapi sebagaimana memulainya, maka ketika menuntaskan tutur para perempuan itu,  Nova menulisnya dengan sangat bijak.

Waktu malam menyambut pagi
waktu hujan berhenti 
waktu pohon-pohon coklat tumbuh semakin subur  
waktu kami melanjutkan hidup di atas kaki sendiri.

Membaca kumpulan puisi Dewi Nova, Burung Burung bersayap Air, kita seperti berdiwana ke negeri-negeri dimana penderitaan para perempuannya terlihat jelas ke permukaan.  Menurut penulisnya sendiri, ke 47 puisi yang ada dalam antologi puisi ini memang sengaja dipilih  dari banyak puisi lain yang ditulisnya karena tema yang diangkatnya adalah kekerasan pada perempuan. Ya, Nova memang memilih jalan hidup sebagai aktifis perempuan, meski ianya sendiri  adalah seorang perempuan yang penuh kelembutan yang pernah sangat menderita karena penyakit tumor yang menyerang payudaranya. Dan harus  merelakan payudaranya dibedah berkali. Tentu bila kita membaca judul bukunya gambaran kekerasan yang menggetirkan itu sama sekali tak kelihatan. Tetapi hampir semua puisi yang ada dalam buku ini menggambarkan betapa perempuan dimana pun yang sempat didatanginya dicatat sebagai mahluk yang teraniaya, korban kekerasan bersenjata juga sebagai barang untuk diperdagangkan.

Di Poso, Dewi Nova mencatat dalam puisi ‘Lelaki Bersenjata itu, Kekasihku’ (hal, 6-7)  bagaimana seorang perempuan yang menyerahkan dirinya sebagai kekasih lelaki bersenjata. Lelaki yang dicintainya itu berjanji akan menikahinya. Hal itu tak pernah terjadi. lelaki yang harus  berpindah berkali itu selalu meminta perempuannya  datang hanya untuk menghamili dan menggugurkan kandungannya.Pernikahan itu tak pernah ada, tulis Nova.

Lelaki itu akan mengawiniku
jika laporan ke PROVOST aku cabut
satu tahun berlalu  
Peradilan militer tidak pernah terjadi
 Hanya surat pencabutan perkara
yang tak pernah aku tandatangani

Meski pun dibanyak  puisi Dewi Nova menulis tentang  perempuan yang teraniaya dan kalah, dalam puisi ‘Kau Ambil Parang kami, Kurampas Senjata Kalian’  (halaman 4) yang menurut saya sangat ispiratif, Dewi Nova menulis seperti juga dirasuki kekuatan jagat raya.

Ratusan  perempuan
seperti rombongan kupu-kupu
 memenuhi kebun
orang-orang berseragam
 memoncongkan senjata api
pada tubuh mereka

“Kau maju selangkah, kami maju dua langkah,”
 teriak perempuan
“Berhenti menebang pohon kopi, atau kami tetap menghadang,” 
perempuan mengacungkan parang

moncong senapan siap menerkam
dua perempuan menelanjangkan diri

“Kau ambil parang kami, kurampas senjata kalian!”
lawan perempuan

pasukan bersenjata mundur
ratusan perempuan menabuh gong
memanggil kekuatan jagat raya

Manggarai, 19 April 2004

Apa yang dialami perempuan TKI dikisahkan Nova dalam puisi ‘ Perempuan Kapuas’. Bagaimana perempuan Kapuas dijanjikan kerja 2 tahun, dilarang pulang 3 tahun. tak berani lapor ke KBRI, paspor ditahan majikan atas persetujuan pemerintah Indonesia. Tak terhitung banyaknya TKW  Indonesia yang menerima perlakuan tak selayaknya dari majikannya di luar sana. Dan kepada Asosiasi Tenaga Kerja Indonesia ( ATKI), Dewi Nova menulis dengan sangat imajis mataforis.

BURUNG-BURUNG BERSAYAP AIR
Kepak-kepaklah sayapmu
dalam formasi mengumpul kekuatan
melukis langit dengan busur keadilan

rentang-rentangkanlah sayap airmu
menyuburkan perlawanan
di desa-desa yang kering
di kota-kota yang kejam

terbang-terbangkanlah sayapmu
melampaui bangsa-bangsa dan benua
sambil mengajari siapapun tak lebih tinggi
dari sesiapa
sambil luaskan pandang setiap benua
untuk semua bangsa.

Radio Dalam, Jakarta, 11 Mei 2010  

Demikianlah sang pengkisah yang bernama Dewi Nova Wahyuni yang lahir di Perkebunan Teh, Kabupaten Bandung, 19 Nopember 1974 telah menerbangkan kisah-kisah yang dilihat, didengar, dibaca melalaui Burung-Burung Bersayap Air. Dan telah hinggap pula di pikiran saya, pikiran para pembaca lainnya untuk kemudian menjelma sayap baru yang dipenuhi air. 

Selamat kepada sang penari  yang  selalu mengemulaikan diri dalam gerakan pencerahan kepada kaumnya . Terbang  dan rentangkan sayap airmu menyuburkan lahan-lahan perlawanan. . .

Banda Aceh, 22 Januari 2011

*Pengantar peluncuran buku puisi Dewi Nova, pada 22 Januari 2011 di Kedai Kopi Apa Kaoy, Banda Aceh

Kamis, 03 Maret 2011

BOLA DAN SEPATU DALAM PUISI-PUISI FATHUR


~ Sebuah review buku kumpulan puisi karya Fathurrahman Helmi

"AKU, BOLA,  DAN SEPATU" adalah sebuah buku himpunan puisi karya Fathurrahman Helmi (lahir di Meulaboh, Aceh Barat 21 Juni 1995) diterbitkan oleh Lapena, 2009 . Buku ini tergolong istimewa, sebab diantar oleh dua orang sekaligus (Wiratmadinata dan Damiri Mahmud) serta diiringi endorsment dari banyak kalangan (Mustafa Ismail, Herman RN, Mutia Erawati, Dino Umahuk, Jauhari Samalanga, Sulaiman Tripa, Medri, Raja Ahmad Aminullah, dan Wina SW1). Review ini, tentu menggunakan sudut pandang yang lebih bersifat pribadi, sebab saya tak hendak memperhatikan (tak membaca) keseluruhan pengantar dan endorsment yang ada dengan satu pengharapan dapat mereview puisi-puisi yang dihasilkan oleh Fathur yang saat buku ini diterbitkan masih tergolong usia anak-anak.

Dalam satu hal, saya seperti Stephen Spenders lebih menyukai puisi-puisi yang ditulis oleh penyair di awal karir kepenyairan, sebab puisi-puisi yang ditulis pada awal karier kepenyairan terasa lebih murni, lebih jujur, lebih spontan, dan jauh dari manipulasi (begitu sederhana: sama sekali terbuka). Karya-karya (puisi) yang dihasilkan oleh penyair usia muda seperti John Keats (Inggris), Arthur Rimbaud (Perancis), atau Chairil Anwar (Indonesia) mewakili kebanggaan bangsanya. Kita tidak bisa membayangkan bagaimana jika kita “tidak menganggap ada”  atau mencoret puisi-puisi mereka begitu mereka menulis puisi di usia dini, apakah sejarah perpuisian Inggris, Perancis, atau Indonesia dapat ditulis? Kita dalam konteks ini tidak dapat meremehkan usia muda, sebab di usia muda ini juga tersedia nilai-nilainya. Dalam konteks memberikan nilai inilah, atau tepatnya, memberikan penghargaan bagi karya anak bangsa inilah tulisan apresiatif ini dibuat.

Bola, Dunia dan Sepatu dalam Puisi Fathur
Ketika menulis puisi, ada dua pendekatan yang dapat dilakukan oleh kreator. Dua pendekatan itu, pinjam terminologi Sapardi Djoko Damono, ialah sudut pandang “anak kecil” dan sudut pandang “Sang Nabi”. Secara pragmatis, ketika kita menganlisis secara kritis wacana puisi, dua pandangan itu dapat diibaratkan sebagai pintu. Pintu-pintu itu seperti imajinasi Sapardi Djoko Damono digambarkan: terbuka perlahan-lahan .... satu persatu terbuka .... hingga akhirnya tak ada yang bernama rahasia; begitu sederhana: sama sekali terbuka.  Dalam alam pikir anak kecil yang penuh fantasi atau khayalan berpendar aneka imajinasi yang luar biasa. Dalam bayangan anak kecil, sebuah sapu bisa berubah menjadi pesawat terbang, bisa berubah menjadi kuda, dan dapat berubah secara imajinatif menjadi “apa saja” sesuai dengan apa yang dikhayalkan, dibayangkan, atau diangankan. Gambaran angan yang berujud imajinasi itu begitu menonjol di kepala anak kecil. Selain itu, dengan kekayaan imajinasinya itu si anak kecil asyik dalam konteks permainan yang ia ciptakan. Imajinasi itu taklain sebagai buah fantasi. Dunia anak-anak memang penuh fantasi.

Bagaimana bola dilukiskan dalam puisi-puisi Fathur? Di halaman 33 saya menemukan puisi berjudul "Bumi". Dalam pandangan umum, bumi menggambrkan sesuatu yang bulat, bundar, dan selalu saja ditemukan dalam puisi banyak penyair. Dalam alam pikir Fahur, bumi yang bulat itu digambarkan sebagai manusia yang sakit: "Aku di sini terpaku/menatap tanah yang tandus/bumi ini sedang sakit akibat ulah manusia" Bumi yang sedang sakit itu juga dibandingkan dengan sosok manusia yang makin tua dan mulai keriput. Puisi ini diungkapkan dengan sikap jujur, jernih, dan menggunakan perbandingan yang dengan cepat dapat dibayangkan "orang tua yang keriput dan sakit". Meski pendek, puisi ini sesungguhnya tak sekedar memotret, melainkan telah menunjukkan usaha melukis fenomena kerusakan bumi melalui kata-kata.

Lukisan mengenai hidup atau mengarah pada filosofi tentang hidup dilukiskan secara hidup, dinamis, lincah, dan penuh gerak dalam puisi berjudul "Sepakbola" (hal. 35): Aku berlari/Tak tentu arah/Terus menendang/Bagaikan senapan yang memuntahkan peluru". Lukisan mengenai hidup yang terus bergerak seperti ini justru terinspirasi saat menyaksikan sepakbola. Bagi orang kebanyakan, saat nonton sepak bola hanyalah nonton, tetapi berbeda dengan Fathur,sembari nonton sepakbola pikirannya (imajinasi dan fantasinya) merembet bergerak ke sebuah lukisan tentang hidup. Meski sederhana, penyair cilik ini telah merambah ke dunia filsafat atau setidaknya pemikiran filosofis. Dalam kehidupan kadang-kadang orang berlari tak tentu arah (tak memiliki tujuan yang jelas), terus menendang (tendang kanan-tendang kiri, sikut kanan, sikut kiri, bahkan kalau perlu dengan kekerasan "bagaikan senapan memunyahkan peluru".

Dalam hidup manusia tentu ada sasaran atau target atau tujuan (boleh juga cita-cita,harapan, keinginan dan sebagainya). Hal ini dilukiskan oleh Fathur dengan ungkapan seperti ini: "Gawang yang kuincar/Dengan semangat menggebu/Walau tidak gol/Aku akan terus berusaha". Ada gambaran semangat berusaha di dalamlukisan ini. Sebuah gambaran yang melukiskan upaya pantang menyerah untuk sampai tujuan. Fantasi dan imajinasi di dalam kepala Fathur lalu menghadirkan lukisan yang hidup tentang hidup itu sendiri: "Bola yang bergelinding/ Bagaikan hidup yang terus berlanjut/Tak ada kata-kata menyerah/Sebelum pertandingan usai." Lukisan ini luar biasa. Fathur sanggup menghadirkan metafora secara jernis yang membandingkan hidup dan kehidupan dengan permainan sepakbola!

Masih terkait dengan filosofi tentang hidup. Fathur selanjutnya menulis "Hidup" (hal. 37):" Kehidupan/ Bagaikan roda/Sebentar diatas sebentar di bawah/Aku harus menjalani kehidupan ini// Tak ada kata menyerah/ Sebelum mencoba sesuatu/Hidupadalah simbol/Di mana akan terus dicamkan dalam dunia ini". Meski ungkapan hidup itu ibarat roda pedati, kadang di atas dan kadang di bawah telah menjadi ungkapan umum, namun kita menjadi terkagum saat ungapan ini meluncur dari alam pikir anak-anak. Alam pikir Fathur serupa aneka bentuk benda yang dicerap dan dipersepsi hadir dalam bentuk bulatan (bola, bumi, roda, bulan, dan sebagainya). Terkait dengan gambaran bulan, Fathur menulis puisi berjudul "Bulan" yang menurut pembacaan dan pemaknaannya hadir secara lembut, romantis, dan hangat: "...Bulan sabit/Melengkung/ bagai celurit// Saat bulan dan bintang menyatu/Membentuk wajah yang tersenyum/Mengingatkan aku pada senyummu yang indah". Wow, anak seusia Fathur bisa mengungkapkan kehalusan rasa seperti ini, tentu luar biasa.

Lalu bagaimana Fathur melukis sepatu? Dalam puisinya berjudul "Sepatu" di halaman 63, Fathur menulis seperti ini:

Bagaikan peluru
Cept dan langsung menuju sasaran
Sepatu itu melesat
Mengarah kepala mister ni. 1 Amerika
Andai kena aku akan tertawa

Warga bersorak
Tertawa juga mengecam
Sepatu itu
Anggap saja salam dari orang-orang teraniaya
Yang telah kau hancurkan hidup mereka
Semoga kau jera
Dan tak pernah
Memperlakukan orang dengan hina lagi
Salam dari kami para pemakai sepatu

Banda Aceh, 16 Desember 2008

Bagi pembaca yang memiliki referensi, minimal acap membaca berita "tragedi" (tragikomedi?) pelembaran sepatu yang mengarah ke orang nomor 1 (presiden) Amerika Serikat, puisi ini tampil secara memikat. Daya pikat puisi ini tentu saja bertolak dari aktualitas peristia, lalu bertolak dari aktualitas peristiwa itu dibawa ke arah perenungan mengenai hidup dan kehidupan,lengkap dengan etika dan norma yang menyertainya. Dalam konteks ini, dalam hal pemaparan puisi, saya jadi teringat kekuatan refleksi puisi-puisi Rendra. Fathur, yang juga disayang oleh Rendra, memiliki potensi kreatif seperti Rendra dalam hal diksi, visi, dan ketajaman/kedalaman renungan mengenai hidup.
  
Melalui alam pikir anak kecil yang suka berkhayal, berimajinasi, dan berangan-angan atau berfantasi dapat dihasilkan kekayaan penggambaran yang memiliki makna. Demikianlah, ketika kreator menggunakan pendekatan “anak kecil yang suka bermain-main” dalam menulis puisi dan berusaha menjauhkan diri dari kesan “main-main” dengan kesengajaan serta dilambari oleh orisinalitas pengungkapan yang jujur akan terbuahkan aneka puisi yang penuh dengan imajinasi. Imajinasi ini dibuahkan melalui upaya pemaksimalan aktivitas psikis berkayal, melamun, merenung, dan memikirkan satu hal.

Selain puisi dibuahkan kreator dari sudut pandang “anak kecil” yang penuh imajinasi, puisi juga dihasilkan melalui pendekatan “sang nabi”. Apabila puisi dihasilkan melalui sudut pandang “anak kecil” tercipta puisi yang kaya imajinasi, lincah, tak terduga, mengejutkan, dan menyenangkan, maka di pihak lain puisi yang dihasilkan dari sudut pandang “sang nabi” berisi fatwa-fatwa agamais yang religius sifatnya. Puisi-puisi yang digubah dengan sudut pandang “sang nabi” berisi dengan aneka ajaran dan pesan moral. Penyampaian ajaran dan pesan moral ini realisasinya dapat terungkap secara sederhana, namun di pihak lain dapat pula terungkap secara kompleks. Religius yang bertaraf permulaan tampil melalui kesederhanaan, sedangkan religiusitas yang bertaraf tinggi cenderung menggambarkan kompleksitasnya (berbagai tingkatan: syariat, tariqat, hakikat, dan makrifat, dan berbagai paham serta keyakinan lainnya).

Hal yang menurutku termasuk "gila" (gila dalam tanda petik) ialah remaja seperti Fathur memiliki pedang kata-kata yang tajam, menyimpan kekuatan renungan. Seperti apa lukisan kegilaan Fathur dalam merespons lingkungan kehidupannya, terdedah dengan baik pada puisi berjudul "Gila" (hal. 86) yang untuk menunjukkan kepada pembaca saya kutipkan secara keseluruhan:

                          Gila

Semua yang terjadi
Selalu di luar kendali

Kehidupan kini makin hancur
Pembunuhan
Kekerasan
Korupsi
Semua yang tak lazim
Sudah menjadi makanan sehari-hari

Hidup ini kian gila
Semua memperebutkan kekuasaan
Kekuasaan dianggap sebagaiharga mati

Dunia makin gila
Akankah kiamat terus mendekat?
Jangan tanyakan padaku
Karena aku tak tahu

Banda Aceh,25 Desember 2008.

Pembaca, kita telah sedikit berkenalan dengan pandangan dunia penyair muda usia dari Banda Aceh mengenai hidup dan kehidupan yang digali dari peristiwa keseharian di sekitar kita. Sebagian besar puisi Fathur memilikipotensi seperti kekuatan ekspresi Rendra, sebagian puisi lainnya lebih mengarah ke puisi-puisi yang liris-imajis, yang merupakan trend penulisan puisi yang tak pernah ditinggalkan oleh penyair dalam konsepsi estetis apapun juga. Saya masih menanti perkembangan karya Fathurrahman Helmi (putra sulung Helmi Hass dan D Kemalawati). Saya memiliki keyakinan, lantaran Fathur diasuh dan dibesarkan oleh orang-orang hebat di bidang sastra dan budaya, kelak jika setia menjalani proses kepenulisan dan mengasah diri terus-menerus dapat diharapkan sebagai penyair yang diharapkan. Demikian, salam budaya.

04 Maret 2011 jam 9:41

*Sumber : http://bengkelpuisidimasarikamihardja.blogspot.com