Kamis, 21 April 2011

DUA SAJAK TENTANG KARTINI, SEBUAH PERBANDINGAN


Catatan Dimas Arika Mihardja

Pengantar:

Bukan sebuah kebetulan terhadap sosok Raden Ajeng Kartini melahirkan banyak interpretasi. Bagaimanakah "pembacaan" sosok Kartini oleh dua orang penyair berjenis kelamin berbeda, berbeda etnis, dan berbeda suasana? Tulisan sederhana ini bermaksud menyandingbandingkan dua sajak, yakni "Ketika Kartini Berkunjung ke Aceh" (D Kemalawati, Banda Aceh) dan "Ketika Kartini Tak Singgah ke Sekolah" (Ardi Nugroho, Sidoarjo). Kita sandingbandingkan dulu kedua sajak itu.

Ketika Kartini Berkunjung Ke Aceh
(D Kemalawati, Banda Aceh)

Ia memakai kebaya ungu
Sanggul melati dan slop berhak tinggi
Di tangannya pena emas dan sehelai perangko

Ia mengajak Cut Nyak Dien semeja di pendapa
Dari belantara Cut Nyak Dien mengirim aba-aba
Ia butuh senjata menikam serigala.

Banda Aceh, 21 April 2006 
(KEMALA, Meditasi Dampak70, 293)

KETIKA KARTINI TAK SINGGAH KE SEKOLAH
 (Ardi Nugroho, Sidoarjo)

melintas Jembatan Porong
anak perempuan dekil bernyanyi lagu ala kadar
tangannya bergoyang mainkan kencringan
mimiknya lucu hidungnya ingusan
suaranya pecah, menambah ruwet perempatan dekat lampu merah
namun sorot matanya selipkan kerinduan
yang teramat panjang

memasuki Pasar Larangan
perempuan muda membaca sajak dari lapak ke lapak
wajah melonnya berbinar menangkap matamata liar
gerak tubuhnya menggambar jerat keterpaksaan
dan lagilagi terselip kerinduan
yang panjang

di gerbang kedatangan Bandara Juanda
perempuan setengah baya berkacamata hitam
celana ketat string, kaos singlet bergambar durian
rambut rebonding depan, keriting kiri kanan
berasesori headset setia rojer merojer bro dan sist
lambaian tangannya lukiskan kebebasan
dari senyumnya, tetap tertangkap kerinduan
yang teramat panjang

di ruang kelas enam, esde Kecamatan Waru
perempuan tua berkacamata baca
membuka ensiklopedi kehidupan
mencari makna arti kerinduan
yang teramat panjang!

Sidoarjo, 21 April 2011


Sangat lama saya digoda oleh sebiji sajak karya D.Kemalawati bertajuk "Ketika Kartini Berkunjung ke Aceh". Sajak ini terus-menerus meneror pikiran saya. Akibatnya, begitu mas Ardi Nugroho meminta sebuah judul untuk puisi yang digubahnya, saya tak sengaja (dan mungkin akibat teror sajak D. kemalawati) saya menyumbangkan judul puisi Mas Ardi Nugroho "Ketika Kartini Tak Singgah ke Sekolah". Celakanya, atau beruntungnya, mas Ardi Nugroho menerima judul puisi yang kusumbangkan. Lantaran kedua sajak ini meneror pikiran, saya lantas tertantang untuk menyanding-bandingkan kedua sajak ini dengan pertanyaan utama: "bagaimana dua penyair berbeda gender, etnis, dan letak geografis menafsirkan sosok Kartini?"

Sajak gubahan D. Kemalawati tampil dalam bentuk dua bait seuntai, sedangkan sajak gubahan mas Ardi Nugroho hadir dalam eujud empat bait seuntai. Kedua sajak sama-sama tampil dalam bait yang genap dan keduanya tentu saja merupakan reinterpretasi terhadap sepak terjang Kartini. Saat Kartini berkunjung ke Aceh (pada suatu masa, entah kapan itu terjadi, mungkin hanya di dunia fantasi dan imajinasi penyair), orang-orang Aceh, paling tidak diwakili oleh sosok D. Kemalawati lebih mengemukakan sikap "berjaga-jaga" atau "siaga". Sikap berjaga-jaga atau siaga (dengan rencong) yang secara tegas dinyatakan pada pamungkas sajaknya : "Ia butuh senjata untuk menikam serigala". Di awal sajaknya, penyair D.Kemalawati dengan piawai mendeskripsikan sosok Kartini melalui simbol-simbol yang melekat pada kedirian dan pribadi Kartini, seperti ini:

Ia memakai kebaya ungu
Sanggul melati dan slop berhak tinggi
Di tangannya pena emas dan sehelai perangko

 Kata "kebaya ungu", "anggul melati", "selop berhak tinggi", "pena emas", dan "perangko" semuanya merupkan simbol yang secara jitu dipilih dan dikenakan untuk sosok Kartini. Dengan simbol-simbol itu (lantaran simbol itu dipakai untuk mewakili banyak makna) maka kepadatan sajak D.Kemalawati tampil memukau lantaran padat. Kepadatan sajak ini secara langsung menunjukkan betapa efektifnya dunia simbol mewakili entitas (termasuk realitas) yang hendak dientaskannya. Sosok kaum ningrat, terpelajar, berderajat tinggi (berhak tinggi), suka membaca dan menulis (pena emas), dan suka berkorespondensi (perangko) merupakan dunia simbol untuk merepresentasikan diri dan kepribadian Kartini. Penyair D. Kemalawati mengerti bahwa "Surat-surat Kartini" lebih banyak menunjukkan korespondensi antara Kartini dan warga bangsa Belanda. Kata "Belanda", sejak dulu dipandang "berbahaya" bagi masyarakat Aceh, oleh sebab itulah bait kedua ini lantas hadir:


Ia mengajak Cut Nyak Dien semeja di pendapa
Dari belantara Cut Nyak Dien mengirim aba-aba
Ia butuh senjata menikam serigala.

Reinterpretasi Penyair D. Kemalawati  dan sikap kritisnya sebagai generasi penerus Cut Nyak Dien masa kini, memunculkan gagasan sehingga tertuang ungkapan ini: 

Ia mengajak Cut Nyak Dien semeja di pendapa
Dari belantara Cut Nyak Dien mengirim aba-aba
Ia butuh senjata menikam serigala.

"Aba-aba" yang diberikan oleh Cut Nyak Dien untuk menyiapkan senjata itu tak lain merupakan sikap waspada, bersiaga, atau berjaga-jaga terhadap "musuh dalam selimut". Frasa "musuh dalam selimut" ini hendaklah dipahami sebab di ungkapan itu D. Kemalawati memilih simbol "serigala" (ingat ungkapan: serigala berbulu domba, ingat pula ungkapan bahwa Belanda suka sekali "adu domba" dalam menjalankan politiknya. Frame reference seperti ini lalu oleh D. Kemalawati dinyatakan agar siaga menghadapi berbagai kemungkinan yang bisa saja terjadi.

Lalu, bagaimana halnya interpretasi Ardi Nugroho terhadap sosok Kartini? Diksi "Porong" (larik 1 bait 1) yang dipadupadankan dengan kata "jembatan" sehingga tercipta "Jembatan Porong" semestinya tak hanya diartikan nama tempat di Jawa Timur. Kita bisa memaknai diksi "porong" itu sama dengan "gosong" atau "hangus". Saat melintasi jembatan di siang bolong, matahari membikin gosong anak perempuan dekil yang bernyanyi sebuah lagu ala kadar. Lagu itu seakan terdengar begini: "begini nasib perempuan jalang, ke mana-mana modal kencringan, tiada orang yang kasihan.... Reff: hati sungsang sebab tak ada yang berih uang, oo, hati meradang lantaran kebelit utang, oo, begini nasib pengamen jalanan, sepanjang jalan jadi gunjingan,tiada orang yang menyayang." Dalam bait pertama sajak Ardi Nugroho sosok Kartini masa kini (April 2011) tampil sebagai perempuan yang dekil yang mengamen di jembatan yang hangus lantaran dibakar matahari.

Sehabais menyanyikan lagu "Begini Nasib" (menurut imajinasi DAM), gadis dekil itu entah belajar dari mana menyanyikan lagu ini: Wahai ibu kita Kartini, putri dari Jepara, sungguh besar sanggulnya, panjang kukunya" lagu perempuan itu "suaranya pecah, menambah ruwet perempatan dekat lampu merah, namun sorot matanya selipkan kerinduan". Menurut pikiran perempuan dekil itu, negeri ini tak berambu dan tak berlampu sehingga keruwetanlah adanya.

Sesaat aku lirik memasuki Pasar Larangan. Nah, ini, diksi yang ajaib "Pasar Larangan" (bisa saja bursa narkoba, ganja, pil koplo, dan aneka minuman memabukkan. Cilakanya, di dalam pasar itu ada perempuan perlente, modis, bergaya, dan sableng meski samar-samar perempuan perlente (bukan lonthe lho) memiliki "kerinduan yang teramat panjang" juga. Sosok Kartini dihadirkan di tengah pasar yang penuh dengan dunia tawar-menawar, pencopetan, pemalsuan timbangan, dan bergaya serupa perempuan metropolis.

Lihatlah, di gerbang kedatangan Bandara Juanda si aku bersua perempuan berkaca mata hitam (pandangannya tentu suram atau bahkan gelap, barangkali suka gelap mata alias nekat). Perempuan berkaca mata hitam ini kayaknya jadi korban zaman. Semua kemajuan dunia salon (bukan sablon lho) dimanfaatkan sehingga bukannya keindahan yang tampil justru keberntakan. lewat bait ini penulisnya berpikir, "apakah ini hasil emansipasi Kartini?". Perempuan berkaca mata hitam ini kayanya juga menyimpan kerinduan yang teramat panjang. Apakah yang dirindui? Kebebasan berdandan? Kebebasan berpenampilan? Entahlah.

Lalu yang paling memprihatinkan ialah di ruang kelas enam esde Kecamatan Waru (nah kata "waru" ini kan bergambar daun cinta?) ada seorang guru yang keliru menafsirkan emansipasi: menyuruh anak sekolah menulis tentang Kartini dan menelantarkan anak-anaknya sendiri sehingga gagal memahami makna kehidupan. Semua itu tentulah bermuara atau menjadikan kerinduan yang teramat panjang. Kerinduan tentang apa? Tentu saja kerinduan memaknai kehidupan secara tepat, memahami hakikat emansipasi dan menerapkannya secara tepat. 

Sosok Kartini tampil beda di dua sajak gubahan D. Kemalawati (penyair perempuan berasal dari Aceh) dan sajak Ardi Nugroho (mudah-mudahan jadi penyair lelaki dari Sidoarjo, jawa Timur hehehehe). Perbedaan kedua sajak tersebut terbatas pada penampilan (perwujudan sajak) dan reinterpretasi terhadap sosok Kartini. Persamaannya, meskipun samar-samar, kedua sajak ini mengajak para pembacanya untuk bersikapwaspada, siaga, atau berjaga-jaga. Berjaga-jaga dalam hal apa? Berjaga-jaga terhadap aneka kemungkinan perubahan atau perkembangan budaya. Jika sajak D. Kemalawati penuh dengan simbol, sajak Ardi Nugroho juga memanfaatkan simbol yang digaloi dari lokalitas tempat, tetapi tempat itu hadir secara eksotik di dalam sajak seperti "Jembatan Porong","Pasar Larangan", "Gerbang kedatangan", dan "menulis Kartini bagi siswa kelas enam esde".

Perkembangan globalisasi dan perubahan tata nilai memang harus diwaspadai oleh siapa saja. Inilah saya kira moral value kedua sajak ini. Demikianlah perbandingan secara sekilas dua sajak yang sama-sama memiliki kekuatan eksspresi. Jika sajak D. Kemalawati tampil padat memikat, sajak Ardi Nugroho tampil "nakal" dan sedikit "Mbeling" gaya pengungkapannya. Kedua sajak ini, tentu saja, layak mendapat tempat di hati pembacanya masing-masing. Dengan dua sajak ini kita tak serta merta bisa memasukkannya ke dalam karya "penyair salon" yang menjadi keprihatinan Rendra (almarhum), sebab kedua sajak ini masing-masing memiliki konteks yang jelas, dan peduli pada realitas yang dijadikan pangkal tolak renungan kedua penyair.

Salam DAM, damai dalam persaudaraan
Jambi, Hari Kartini, 21 April2011.

1 komentar:

  1. Assalamu'alaikum WW, Saya menjadi tergelitik juga membrei komentar meski tak pintar, dari isiran Catatan Dimas Arika Mihardja tentang Puisi D Kemalawati di atas, kiranya ada yang belum terbaca atau sengaja untuk dilupakan, bahwa ada tersirat disana kekecewaan atas Icon Wanita Pejuang Nusantara R.A. Kartini yang hanya bermodal secarik dua kertas dan sepucuk dua pucuk surat pada teman-teman bercurah perasaannya, dibandingkan oleh D Kemalawati dengan Cut Nyak Dhien, yang mengorbankan Jiwa, keluarga, harta dan segala kesengan sebagai Wanita Ningrat Aceh, maju ke medan perang dan memimpin perjuangan melawan penjajahan yang berujung pada keterasingannya.
    Wassalam

    BalasHapus