Sabtu, 05 Maret 2011

SANG PENGKISAH ITU TERBANG BERSAMA BURUNG-BURUNG BERSAYAP AIR

(Pengantar Peluncuran Buku Puisi Dewi Nova)

 Oleh D Kemalawati


Bagaimana membahasakan sebuah kisah tetapi tidak membuat orang berpaling membacanya bahkan menulis kembali dalam pikirannya menjadi kisah yang lebih panjang, lebih menusuk bahkan lebih berliku dari yang dibaca semula. Sungguh hal tersebut tak mudah bagi sembarang orang. Tidak juga bagi setiap orang yang bekerja sebagai penulis  kisah. Dan apa yang dibahasakan oleh  Dewi Nova dalam kumpulan puisinya ‘Burung-burung Bersayap Air’ (JAKER, 2010),  adalah suatu kepiawaian menulis kisah dalam kalimat-kalimat singkat yang kemudian berakhir dengan kisah yang panjang dan menetap dalam pikiran kita, para pembacanya.  

Membicarakan buku puisi Dewi Nova yang hanya memuat 47 judul puisi dengan tebal buku 60-an halaman,  berarti membicarakan kepiawaian Nova dalam mengkisahkan kembali apa yang dilihat, di dengar, dibaca ke dalam   untaian kata yang lugas, puitis, tajam dan menusuk. Kita pembaca dengan serta merta diajak masuk dalam kisahnya dengan membawa kembali kisah itu ke dalam pikiran kita. Mari kita simak sebuah berita dari Aceh (halaman 1) yang ditulis oleh Nova dengan judul dan isi tanpa basa-basi.


BERITA DARI ACEH

Malam ini
seorang perempuan
diperkosa di rumahnya
juga malam sebelumnya
dan pada malam-malam hitam selanjutnya
atau… suaminya dalam tahanan
akan di DOR!

Kemarin
seorang perempuan  ditemukan telah menjadi mayat
kedua payudaranya dipotong
juga lelaki yang dilindunginya
ia pun menjadi  telah mayat

Jakarta, 13 Januari 2004

Nova memulai dengan  menulis waktu, malam ini. Waktu memang begitu penting pada setiap pengkisahan baik lisan mau pun tulisan. Apa yang terjadi malam ini dikisahkan oleh Nova dengan bahasa  apa adanya, seorang perempuan diperkosa di rumahnya. Lalu malam sebelumnya,  malam sesudahnya  dan pada baris terakhir bait pertama  ‘ atau… suaminya di tahanan akan di DOR!.’  Apa yang ditulis Nova adalah kabar sebenarnya yang dia peroleh dari Aceh dan ditulisnya di Jakarta pada Januari 2004. Kalau menilik tanggal penulisan maka yang muncul dalam pikiran kita bagaimana situasi Aceh saat itu. Perempuan yang harus menerima perlakuan keji dari mereka yang seharusnya melindungi warganya. Lelaki Aceh dengan mudah di penjara meski kenyataannya dia hanya petani biasa atau pedagang kecil yang mencari sesuap nasi dengan keringat dan tenaganya yang tak seberapa. Dengan memenjarakan lelaki, maka perempuannya akan mudah diperkosa dan meski pun sudah sangat terhina masih harus pasrah lelakinya dipenjara dipulangkan tak nyawa. Dan yang lebih parah lagi bagaimana perempuan yang terpaksa melindungi lelaki harus  merelakan nyawanya dengan kedua payudaranya dipotong. 
Dari sebuah puisi yang ditulis Nova, kejadian-kejadian pahit yang dialami perempuan Aceh kembali hadir di memori kita. Lalu dengan serta merta kita kisah-kisah lain akan bermuara lalu mengalir  berakhir dalam  samudra pikiran kita.

Nova tak hanya berkisah dengan bahasa lugas tanpa basa-basi. Dengan bahasa yang lebih bersayap Nova mengisahkan kembali apa yang didengarnya dari perempuan-perempuan Aceh yang ditemukan di Bukit Janda. Dalam puisinya yang terpanjang  (hal, 9-13) yang di beri judul ‘Tutur Inong Aceh’  Nova kelihatan sangat piawai mengaduk-aduk emosi kita pembaca.  Simaklah bagaimana Nova memulai kisahnya

Waktu malam merambat
waktu rintik bergulir pada daun coklat
waktu kami duduk melingkar
waktu kami bertutur

Membaca bait pertama kita tak membayang kan betapa getirnya tutur inong Aceh yang akan dikisahnya pada bait-bait berikutnya.

Inong cantik:

Tulis Nova pada bait kedua.

Mereka membunuh suamiku
mereka menginterogasi dan menyiksaku
mereka menelanjangiku
pada masa DOM
pada masa DOM
pada masa DOM

Pada bait berikutnya dengan sangat lancar Nova mengkisahkan kembali apa yang didengarnya dari Inong Cerdik,  bagaimana ia menjadi penterjemah bahasa bagi mereka yang menyiksa Inong Cantik dan itu terjadi di rumah Inong Cerdik yang meski disebut cerdik tapi selama tiga bulan hanya memeras airmata. Semua tutur para perempuan dengan berbagai kisah ditandai Nova dengan memberi nama. Ia menyebut Inong Cinta sekaligus Inong Bale untuk perempuan yang menceritakan penderitaannya karena suaminya diculik.  Lalu dengan beberapa kalimat saja, Nova sudah mengkisahkan siapa tentera siang dan tentera malam, apa yang dilakukan tentera malam dan apa yang dilakukan tentera siang yang kesemuanya menggambarkan bagaimana terjepitnya Inong Cinta. Bagaimana Inong Cinta harus menerima kenyataan, ketika anak yang dipaksanya meninggalkan kampung   karena dia tak yakin mampu  melindungi nya dari jerat tentera siang mau pun tentrera malam, akhirnya menjadi korban tsunami. Nova menulis:

Di Banda, anakku dijemput tsunami
“Ibu tak bermaksud  untuk memilihmu antara tentera dan tsunami.”

Selain Inong cantik, Inong Cerdik, Inong Cinta, Nova juga mengkisahkan apa yang didengar dari inong tangguh. Ternyata tak semua lelaki meninggalkan perempuan karena menjadi milisi atau tentera malam. Nova menulis :

Inong Tangguh:
suamiku meninggalkan aku dan 6 anak
tidak untuk jadi milisi
tidak untuk jadi tentara malam
untuk menyelamatkan diri sambil menikahi
perempuan lain
dan melupakan kami.

Apa yang didengar Nova dari perempuan yang duduk melingkar itu sungguh suatu tragedy yang membekas dan tak mudah hilang dari ingatan. Tetapi sebagaimana memulainya, maka ketika menuntaskan tutur para perempuan itu,  Nova menulisnya dengan sangat bijak.

Waktu malam menyambut pagi
waktu hujan berhenti 
waktu pohon-pohon coklat tumbuh semakin subur  
waktu kami melanjutkan hidup di atas kaki sendiri.

Membaca kumpulan puisi Dewi Nova, Burung Burung bersayap Air, kita seperti berdiwana ke negeri-negeri dimana penderitaan para perempuannya terlihat jelas ke permukaan.  Menurut penulisnya sendiri, ke 47 puisi yang ada dalam antologi puisi ini memang sengaja dipilih  dari banyak puisi lain yang ditulisnya karena tema yang diangkatnya adalah kekerasan pada perempuan. Ya, Nova memang memilih jalan hidup sebagai aktifis perempuan, meski ianya sendiri  adalah seorang perempuan yang penuh kelembutan yang pernah sangat menderita karena penyakit tumor yang menyerang payudaranya. Dan harus  merelakan payudaranya dibedah berkali. Tentu bila kita membaca judul bukunya gambaran kekerasan yang menggetirkan itu sama sekali tak kelihatan. Tetapi hampir semua puisi yang ada dalam buku ini menggambarkan betapa perempuan dimana pun yang sempat didatanginya dicatat sebagai mahluk yang teraniaya, korban kekerasan bersenjata juga sebagai barang untuk diperdagangkan.

Di Poso, Dewi Nova mencatat dalam puisi ‘Lelaki Bersenjata itu, Kekasihku’ (hal, 6-7)  bagaimana seorang perempuan yang menyerahkan dirinya sebagai kekasih lelaki bersenjata. Lelaki yang dicintainya itu berjanji akan menikahinya. Hal itu tak pernah terjadi. lelaki yang harus  berpindah berkali itu selalu meminta perempuannya  datang hanya untuk menghamili dan menggugurkan kandungannya.Pernikahan itu tak pernah ada, tulis Nova.

Lelaki itu akan mengawiniku
jika laporan ke PROVOST aku cabut
satu tahun berlalu  
Peradilan militer tidak pernah terjadi
 Hanya surat pencabutan perkara
yang tak pernah aku tandatangani

Meski pun dibanyak  puisi Dewi Nova menulis tentang  perempuan yang teraniaya dan kalah, dalam puisi ‘Kau Ambil Parang kami, Kurampas Senjata Kalian’  (halaman 4) yang menurut saya sangat ispiratif, Dewi Nova menulis seperti juga dirasuki kekuatan jagat raya.

Ratusan  perempuan
seperti rombongan kupu-kupu
 memenuhi kebun
orang-orang berseragam
 memoncongkan senjata api
pada tubuh mereka

“Kau maju selangkah, kami maju dua langkah,”
 teriak perempuan
“Berhenti menebang pohon kopi, atau kami tetap menghadang,” 
perempuan mengacungkan parang

moncong senapan siap menerkam
dua perempuan menelanjangkan diri

“Kau ambil parang kami, kurampas senjata kalian!”
lawan perempuan

pasukan bersenjata mundur
ratusan perempuan menabuh gong
memanggil kekuatan jagat raya

Manggarai, 19 April 2004

Apa yang dialami perempuan TKI dikisahkan Nova dalam puisi ‘ Perempuan Kapuas’. Bagaimana perempuan Kapuas dijanjikan kerja 2 tahun, dilarang pulang 3 tahun. tak berani lapor ke KBRI, paspor ditahan majikan atas persetujuan pemerintah Indonesia. Tak terhitung banyaknya TKW  Indonesia yang menerima perlakuan tak selayaknya dari majikannya di luar sana. Dan kepada Asosiasi Tenaga Kerja Indonesia ( ATKI), Dewi Nova menulis dengan sangat imajis mataforis.

BURUNG-BURUNG BERSAYAP AIR
Kepak-kepaklah sayapmu
dalam formasi mengumpul kekuatan
melukis langit dengan busur keadilan

rentang-rentangkanlah sayap airmu
menyuburkan perlawanan
di desa-desa yang kering
di kota-kota yang kejam

terbang-terbangkanlah sayapmu
melampaui bangsa-bangsa dan benua
sambil mengajari siapapun tak lebih tinggi
dari sesiapa
sambil luaskan pandang setiap benua
untuk semua bangsa.

Radio Dalam, Jakarta, 11 Mei 2010  

Demikianlah sang pengkisah yang bernama Dewi Nova Wahyuni yang lahir di Perkebunan Teh, Kabupaten Bandung, 19 Nopember 1974 telah menerbangkan kisah-kisah yang dilihat, didengar, dibaca melalaui Burung-Burung Bersayap Air. Dan telah hinggap pula di pikiran saya, pikiran para pembaca lainnya untuk kemudian menjelma sayap baru yang dipenuhi air. 

Selamat kepada sang penari  yang  selalu mengemulaikan diri dalam gerakan pencerahan kepada kaumnya . Terbang  dan rentangkan sayap airmu menyuburkan lahan-lahan perlawanan. . .

Banda Aceh, 22 Januari 2011

*Pengantar peluncuran buku puisi Dewi Nova, pada 22 Januari 2011 di Kedai Kopi Apa Kaoy, Banda Aceh

Tidak ada komentar:

Posting Komentar