Kamis, 03 Maret 2011

MEMBACA PEMIKIRAN KANAK-KANAK DALAM AKU, BOLA DAN SEPATU


oleh Djazlam Zainal pada 03 Maret 2011 jam 17:37

Proses pemikiran manusia mempunyai peringkat-peringkat tertentu. Menurut ahli psikologi, proses ini mempunyai dua peringkat. Peringkat permulaan, seseorang kanak-kanak meresapkan seberapa banyak rangsangan yang diterima untuk dijadikan pengalaman ( asimilasi ) Peringkat kedua, hasil proses asimilasi, kanak-kanak mengubahsuai pandangan dan tingkahlaku ( akomodasi ) ( Piaget & Inhender, 1969 )

Daripada penerangan di atas, mungkin boleh dijadikan anjakan untuk kita melihat kecenderungan Fathurrahman Helmi dalam karya kreatifnya. Fathurrahman dilahirkan pada tanggal 21 Juni 1995 di Meulaboh, Aceh Barat. Anak kepada pasangan aktivis sastra terkemuka iaitu De Kemalawati dan Helmi Hass. Karya pertamanya yang dipetik dalam kumpulan ini ialah tanggal 17 September 2005 iaitu ketika usianya 10 tahun. Jika benar dalam usia begitu, ternyata Fathur berkarya dalam usianya kanak-kanak. Menurut kajian, kanak-kanak berusia antara lima hingga ke usia remaja sangat seronok bermain dengan kawan-kawan sebaya. Memerlukan kemahiran yang dipelajari pada usia kanak-kanak untuk pergaulan kepada yang lebih dewasa.

Puisi pertama dalam kumpulan Aku, Bola dan Sepatu ialah Jangan Kau Buat Lagi Korupsi ( untuk para koruptor ) pada halaman 29. Fathur menulis:

jangan kau buat lagi koruptor
apakah kau ingin berlibat dengan hukum
suara koruptor
kalian membuat diri kalian sombong
buat apa kalian buat korupsi
kalian sendiri akan sengsara

jangan kau buat lagi korupsi
kalian menentang hukum politik
apakah kalian senang membuat korupsi
kalian akan sengsara di dalam penjara
seperti tikus terpojok oleh kucing
di sudut tembok

( Kuantan, 17 September 2005 )

Pertamanya, persoalan korupsi. Kanak-kanak berusia 10 tahun mermbicarakan tentang korupsi. Apa korupsi ini seperti KFC atau Mc Donald yang begitu akrap kepada kanak-kanak? Apa korupsi itu seperti Ipin & Upin atau Doeremon yang digilai kanak-kanak? Tentu tidak sedemikian mewenangkan tentang korupsi. Tetapi apabila kanak-kanak berusia 10 tahun mendentik tentang korupsi, sudah tentu korupsi sudah menjalar sedemikian jauhnya hingga ia juga difikirkan oleh kanak-kanak. Toh, kalau demikian, betapa buruknya korupsi ini di sekitar kanak-kanak bernama Fathurrahman hingga ia menjelmakan korupsi sebagai bahan ledakannya dalam sebuah puisi kanak-kanak.

Tarikh menulis ialah 17 September 2005 iaitu ketika Fathur berusia 10 tahun. Tempatnya di Kuantan. Saya tidak pasti Kuantan ini di Aceh atau di Malaysia. Kuantan di Malaysia ialah ibukota negeri Pahang, sebuah negeri di bahagian timur Malaysia. Kalau tidak salah, menurut ayahnya, Helmi, pada tahun itu, keluarga mereka pernah ke Pahang iaitu sempena peluncuran buku Ziarah Ombak. Kalau matlumat ini diambil, puisi tentang korupsi ini diciptakan di Malaysaia. Apakah ketika ini Fathur sedang membaca perkembangan korupsi di Malaysia. Duh, jika benar, Fathur adalah Hang Nadim yang pernah lahir di Singapura ketika pulau itu dilanggar todak. Ketika pembesar negeri menyuruh rakyat Singapura berkubu dengan menggunakan betis, datang Hang Nadim menyarankan agar berkubu dengan batang pisang. Dengan akal budak, akhirnya Singapura terselamat tetapi Hang Nadim dibayangkan akan merosakkan sistem feudal ketika itu. Langsung difitnah akan Hang Nadim dibunuh. Dalam konteks sekarang, Hang Nadim harus " dibunuh " dari bersuara!

Menurut Dr. Halimah Badioze Zaman ( Dewan Sastera, Mei 1992: 5 ) untuk perkembangan pemikiran, seseorang memerlukan berbagai-bagai pengalaman sebagai bahan mentah untuk diolah. Pengalaman ini diperoleh melalui cara terus ( iaitu pengalamannya sendiri ) atau cara tidak langsung ( melalui pengalaman orang lain  atau pembacaan ) Selain pengalaman sebagai bahan mentah untuk pemikiran, penguasaan bahasa adalah satu keperluan yang sangat penting untuk membantu kanak-kanak menjalani proses pemikiran yang lebih tinggi. Dengan penguasaan bahasa ia dapat membebaskan dirinya daripada ikatan benda-benda yang konkrit.

Lewat puisi kedua yang diciptanya ialah Ngamen ( halaman 30 ) pada tanggal 20 November 2008. Dilihat tarikhnya, jarak kedua puisi ini ialah 3 tahun. Satu jarak yang relatif panjang. Kalau memang jarak ini diambil, dan tempoh ini diperhati sewajarnya, Fathur berehat 3 tahun dari menulis puisi dan puisi kedua ini dicipta dalam usianya 13 tahun. Mengikut pemerhatian saya, sudah tentu Fathur tidak berehat sebegitu lama cuma untuk susunan sebuah antologi puisi, hanya puisi yang benar-benar baik dan berkewajaran diambil. Ini saya kesan kerana suaranya masih sempurna, malah menampakkan peningkatan yang lebih lugas.

Dalam Ngamen, Fathur menulis;

Oh... debu
Oh... panas
Oh... keringat
Kalian selalu menemaniku
Di saat suka maupun duka

Oh... uang
Hanya kau yang ada di pikiranku
Dengan cara apalagi aku harus memperoleh
Selain dari mengamen

Cacian dan makian
Teman kami
Kemiskinan
Bahagian hidup kami

Kemiskinan tak menghalangiku
untuk malas-malasan
tetapi menjadi semangat untuk menempuh
perjalanan duniawi
dan aku akun percaya bahawa aku bisa

( Banda Aceh, 20 November 2008 )

Kemampuan berfilsafat bocah SMP kelas II ini sangat luar biasa. Melihat teks yang dinarasikan, ia sebuah teks yang lugu dari seorang bocah yang dosanya masih ditanggung oleh ibubapa. Sebagai sebuah hipotesa, saya juga terasa tergamam lantas tercari-cari akan lugu dan lugasnya sang penyair bocah ini. Fathur melalui Ngamen menceritakan mengenai dunia pengemis. Panas, hujan sudah menjadi fatal pada mereka. Yang penting uang kerana dengannya kehidupan dapat diteruskan. Fathur menyelami jiwa pengemis dan memberi resolusinya " bahawa aku bisa. " Sebagai resolusi kepada keteguhan semangat pengemis, Fajar ( halaman 32 ) adalah jawabannya.

Bagaikan hidup baru
Saat disinggahi fajar
Yang dapat menyejukkan hati
juga memberikan angin segar
untuk hidupku

Untuk perkembangan pemikiran, seseorang memerlukan berbagai-bagai pengalaman sebagai bahan untuk diolah. Pengalaman didapati daru pelbagai cara antaranya pengalamannya sendiri atau pengalaman orang lain. Daripada cantuman pengalaman sendiri dan orang lain inilah, Fathur menulis puisi tentang Sepakbola ( halaman 35 )

Aku berlari
Tak tentu arah
Terus menendang
bagaikan senapan yang memuntahkan peluru

Gawang yang kuincar
Dengan semangat menggebu
walaupun tidak gol
aku akan terus berusaha

Bola yang menggelinding
Bagaikan hidup yang terus berlanjut
Tak ada kata menyerah
Sebelum pertandingan usai

Inilah pandangan jujur bocah kecil mengenai sepakbola. Baginya sepakbola hanya suatu permainan atau perlawanan membolos gawang gol. Larian pontang-panting tak tentu arah seakan sia-sia. Namun percaturan sepakbola sebenarnya lebih dari itu. Penipuan, perjudian, gengsi dan pematukan! Jadi biar Fathur saja membicarakan sepakbolanya dari kaca mata sucinya. Yang terselindung di balik sepakbola sebenar, biarlah menjadi rahasia.

Membaca keseluruhan 61 buah sajak Fathur akan menemukan pelbagai keistimewaan. Biarlah saudara pembaca sendiri menemukan kenikmatan itu. Bagi saya, Fathur telah menyuguhkan sesuatu yang mencabar sebilangan penyair dewasa yang berpilin dengan kata-kata berbusa. Saya mencadangkan puisi-puisi Fathur terus dipublish dari semasa ke semasa dalam laman fekbuk ini agar ia dapat dinikmati ramai. Barangkali saya sendiri akan mengusahakan ini sebagai cara memperkenalkan Fathur ke arena yang lebih besar dan luas. Juga ulasan spontan yang bakal diulurkan pembaca. Dan kemungkinan-kemungkinan dapbrakan yang di luar jangka oleh penyairnya.


*Djazlam Zainal, Kritikus dan Karyawan Malaysia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar