Senin, 28 Februari 2011

SALAM CINTA KEMALAWATI



Oleh Damiri Mahmud

http://2.bp.blogspot.com/_wqFiXCoLlT4/TPg8SV_7IwI/AAAAAAAAAA0/lcsSK2UYBBw/s320/cover+Kemalawati.jpg



         D. Kemalawati, lahir 2 April 1965 di Meulaboh, Aceh Barat. Ia telah menulis puisi sejak 1980-an yang terkumpul dalam berbagai antologi. Kumpulan Surat dari Negeri Tak Bertuan adalah bukunya puisi yang pertama, diterbitkan oleh Lapena, Banda Aceh, 2006.  Meskipun sehari-harinya ia sibuk sebagai guru matematika di sekolah kejuruan di Banda Aceh dan menjadi ibu rumah tangga, namun ia tetap terus menulis. Bahkan di samping puisi, ia juga menulis opini dan beberapa cerpen. Ia pun telah menulis sebuah novel Seulusoh yang mengisahkan seorang gadis yang harus menolong seorang perempuan hamil di tengah ganasnya tsunami melanda Aceh.  Untuk semua kegiatannya itu, baru-baru ini Gubernur Nangroe Aceh Darussalam telah menganugerahi D. Kemalawati (dan beberapa rekannya) berupa Satya Lencana Kebudayaan.
Surat dari Negeri Tak Bertuan  berisi tumpang-tindih pengalaman Kemalawati sebagai manusia dan penyair yang menyaksikan berbagai fenomena di negerinya yang ia catat dengan nada yang  selalu perih dan buram. Buku ini berisi puisi-puisi penyair mulai tahun 1987 hingga 2005, sebagaimana kita tahu adalah tahun-tahun yang cukup berat dan prihatin bagi negerinya, Aceh. Dalam antara tahun itu terjadi berbagai peristiwa besar dan mengenaskan bagi rakyat Aceh. Gerakan Aceh Merdeka yang dideklarasikan tahun 1976 masih terus bergolak, hingga Pemerintah Orde Baru menetapkan status Daerah Operasi Militer (DOM) yang menyisakan kesengsaraan rakyat sipil dan kuburan massal. Kemudian era Reformasi yang memberikan kebebasan bersuara dan tiba-tiba bencana tsunami yang meluluhlantakkan negeri itu (meskipun memberi hikmah akan tejadinya kesepakatan anatara RI-GAM), semuanya digoreskan oleh D. Kemalawati dengan nada perih dan penuh empati dalam kumpulannya itu.
Adakalanya ia menyindir dengan halus, atau menangisi penderitaan manusia yang tergelanggang di depan matanya, tak jarang dalam larik-larik yang lantang ia terpaksa berteriak dan berseru mengapa hal-hal yang di luar jangkauan manusia yang beradab harus terjadi. Kadang ia merenung, mengapa dalam situasi di mana manusia harus menyelamatkan dirinya tapi ternyata tak mampu berbuat apa-apa sehingga menjadi korban keganasan secara semena-mena. Padahal manusia telah dilengkapi oleh Sang Maha Pencipta dengan kelengkapan yang sempurna untuk mengharungi dunia ini sebagai khalifah atau pemimpin.
bagai kunang-kunang yang mabuk cahaya
seakan bara siap mengharumkannya
perut sejengkal sudah sehasta
berbongkah-bongkah daging merah
gerah menari di lidahnya
...
kita tak belajar membaca tanda-tanda
         (Kita tak Belajar Membaca Tanda-tanda, baris 10-14 dan 20)
Mengapa manusia, renung penyair, ketika bencana dahsyat akan menerkamnya malah “bagai kunang-kunang yang mabuk cahaya” sehingga mara bahaya yang akan memangsanya “seakan bara siap mengharumkannya”. Inilah kehidupan manusia yang berada dalam dilema sehingga ia terperangkap ke dalam ironi yang tak terpahamkan. Bahkan hewan tatkala akan terjadinya malapetaka tsunami itu seakan tahu apa yang akan terjadi.
Banyak yang menyaksikan burung-burung putih di pantai pelabuhan Malahayati berbondong-bondong terbang ke bukit menjauhi laut tempatnya sehari-hari mencari rejeki, sementara manusia tatkala pasang tiba-tiba timpas dan ribuan ikan-ikan menggelupur di pinggir pantai menyangka itu sebagai rejeki dan berbondong-bondong ke pusat bahaya bagai kunang-kunang yang mabuk cahaya, sehingga ombak berbalik 180 derajat mereka menjadi mangsa yang empuk. Karena kita tak belajar membaca tanda-tanda. Padahal ombak atau alam ternyata patuh atau selalu mengikut kehendak manusia yang bertindak sebagai pemimpin di muka bumi. Alam membuka dirinya agar dapat dikenali dan dikendalikan:
agar siapapun kan merasakan
berbagai makna di kakiku
yang terus telanjang
              (Ombak, baris 3-6)
   Alam telanjang di hadapan manusia, supaya manusia dapat membaca berbagai makna di kakiku.  Manusialah yang harus arif membuka makna itu. Dan penyair menyarankan supaya misteri alam itu pertama-tama dibuka dengan rasa cinta.
angin liar menerpa wajah kita
ucapkan salam cinta
dan laut lepas tautkan makna
di ujung dermaga
            (Angin, baris 1-4)
Demikianlah sifat alam. Ia pada mulanya liar. Menyimpan berbagai misteri yang pada permukaannya kelihatan menyeramkan. Masuk ke hutan lebat manusia merasa ngeri. Menyelam ke dalam lautan menjadi ketakutan. Mereka menyangka di dalamnya penuh dengan hantu dan peri. Sehingga tak bisa memanfaatkannya secara maksimal dan berjarak dengan alam.
 Tapi tatkala ilmu dan teknologi telah dicapai manusia sebagai senjata atau peralatan yang mendedahkan rahasia alam itu, ia dikuras habis-habisan tanpa kenal ampun. Dengan iptek di tangannya manusia mengusir hantu dan peri dan sekali gus harta kekayaannya.  Di sinilah dilema itu. Ketika manusia dipenuhi ketakutan oleh takhyul dan khurafat ia berjarak dengan alam, tapi memperlakukannya secara santun dan hati-hati. Isi dan kekayaan alam itu diambil seperlunya sebatas kebutuhan yang sederhana. Ketika era teknologi tinggi telah diperoleh manusia, ia tak lagi berjarak dengan alam sehingga dapat memanfaatkannya semaksimal mungkin bahkan menguasai. Hal ini sebenarnya baik karena memang manusia telah dilantik Tuhan sebagai pemimpin di muka bumi. Masalahnya adalah kekuasaan selalu identik kesewenang-wenangan atau kezaliman. 
 Manusia selalu abai tatkala yang diimpikannya menjelma di depan mata. Nafsu serakah dan menguasai tiba-tiba muncul bagai makhluk buas yang saling terkam. Tak peduli lagi siapa kawan siapa lawan. Siapa pemilik dan yang mana perampok. Hal inilah yang terjadi yang memunculkan berbagai tragedi di bumi Aceh sebagaimana yang direkam dalam banyak puisi Kemalawati dalam kumpulan ini.
 Mereka lupa mengucapkan salam cinta kepada alam. Padahal jika demikian alam akan bersahabat dengan manusia, akan tautkan makna/di ujung dermaga. Ia akan patuh dan menyampaikan tujuan kita sehingga kita bisa hidup selaras.
Tapi alam sebagai makrokosmos, sebagai layaknya manusia yang mikrokosmos, tatkala ia terlalu diperas dan diperbudak ia melawan. Pada titik kulminasi itu alam menjadi ganas untuk mempertahankan dirinya. Ia mempecundangi manusia sehingga mereka terperangah. Ilmu pengetahuan dan teknologi yang mereka capai menjadi tumpul dan seperti tak ada artinya.
saudaraku, pernahkah kita diskusikan tentang
lidah ombak yang tiba-tiba menjulur panjang
dengan desisnya yang gemuruh menggulung
bukit dan gunung
menjilat bersih rawa-rawa menjadi samudera
padahal engkau hampir sampai di puncak ilmu
istri, anak dan saudaramu kau titipkan di rawa itu
                          (Rawa Itu Bernama Kajhu, bait II)
Manusia  terperanjat dan menjadi dungu. Ia bahkan tak pernah membayangkan sebelumnya malapetaka akan tejadi demikian ganasnya. Ilmu pengetahuan yang dibanggakannya menjadi sia-sia, malah bagai bumerang untuk mempersaksikan kebodohan itu dalam suatu dilema yang tragis dan memilukan, “padahal engkau hampir sampai di puncak ilmu/istri dan anak-anakmu kau titipkan di rawa itu”. Ini betul-betul suatu ironi. Ilmu pengetahuan selalu datang terlambat. Ia hanya bisa sebatas sintesa dan hipotesa, sehingga ketika sesuatu fenomena yang tanpa aksioma datang menerkam dirinya manusia bahkan menyambut kedatangannya dengan berpesta pora karena mengira akan datang sebuah keberuntungan atau sesuatu yang luar biasa dan agung.
orang-orang bepesta menyambut bulan
melebihi gemuruh ombak mereka mengundang badai
                       (Ujung Kareung, bait I)
Demikianlah tragisnya. Manusia yang telah dipenuhi hawa nafsu tak pernah lagi sadar dan tak lagi peka terhadap bahaya yang akan mengancam nyawanya bahkan sebaliknya malah memuaskan naluri hewani menyongsong tragedi itu.
“ia tak menari”, gemuruh percakapan langit
dibibir pantai sepenggal syair dihembus angin
tentang sajak tubuh yang luka
(kueja makna cinta di sana)
                 (Ujung Kareung, bait II)
Tatkala manusia tak lagi menghargai alam dan memperbudaknya, alam balik mempermainkan manusia. Manusia menyangka ia hidup bahagia dengan mengeksploatasi alam secara semena-mena, hidup mubazir laksana berdiam di sorga, padahal sebenarnya ketika itu “ia tak menari”. Manusia sedang diintip oleh limbah kerakusannya sendiri. Ia yang lupa daratan dan “berpesta menyambut bulan” bagai hidup di sorga, tiba-tiba musnah ditelan sejarah, yang tersisa hanya “sepenggal syair yang dihembus angin 
Namun demikian manusia masih mempertuhankan ilmunya, masih mempertuhankan dirinya tanpa sadar dan menginsyafi bahwa ia telah berada pada peringkat kezaliman  yang tinggi. Manusia yang sewenang-wenang, yang mempertuhan ilmu dan kekuasaannya, yang sebenarnya hanya segelintir dan berada di menara elit, telah merekayasa dunia ini dengan kehendaknya pada hal bukan dia yang menciptakannya.  Jasmaninya sarat dan berat dengan beban duniawi tapi batin telah keropos dan berkarat dalam lumpur dosa.
di negeri alunan azan menggema ke bulan
dendam mengikis cinta hingga ke akar
tak lagi syair menggugah kalbu
membasahi iman kering dan beku
                    (Negeri Peluru, bait III)
Tragisnya lagi, manusia elit ini telah membawa seluruh umat manusia ke dalam kancah nista dan bencana yang secara tak sadar telah dipersiapkannya sendiri dengan ilmu dan kekuasaannya.  Lalu umat, yang sebenarnya tak tahu apa-apa atau tak ikut terlibat merekayasa kezaliman itu, malah menjadi korban dan  menanggung akibatnya.   Maka di negeri sebagaimana yang dilukiskan penyair itu, di negeri nurani terusir, sudah pantas dan pada waktunya manusia menyadari dan menginsyafi kealpaan dirinya, kembali membasahi iman yang telah kering dan beku disebabkan petualangan yang telah begitu jauh dan menyesatkan.

Damiri Mahmud, kritikus sastra dan penyair tinggal di Medan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar