Senin, 28 Februari 2011

LAGU KEMATIAN DALAM BARIS PUISI PENYAIR



Oleh L.K.Ara

Malam itu penyair Deknong Kemalawati (lahir 1965) membaca puisi dan orang yang mendengar banyak terharu. Bahkan ada yang menitikkan air mata. Baca puisi penyair wanita kelahiran Meulabuh itu disiarkan Metro TV pada tgl 4 feb. hari Jumat tengah malam. Ada ratusan sms yang masuk dan sebagian menyatakan keterharuan mendengar baris-baris puisi yang ditulis Deknong. “Saya ikut terharu ketika penyair wanita itu membacakan puisinya. Semoga Aceh bangkit dengan keberkahan-Nya. Amin”. (Huzuan Lingga-Riau). Pada puisinya yang diberi judul “Sajak Untuk Pelukis Ombakku” penyair menggambarkan kehilangan seorang sahabatnya pelukis Vennny yang raib oleh bencana alam tsunami. Dibayangkan sajak yang ditulis penyair tak ada artinya lagi. Karena ombak yang dilukis Venny tak dapat lagi mendamaikan hati si aku lirik. Karena buih ombak yang biasanya menghempas ketepian lembut dan bersuara merdu. Tapi sekarang ombak itu telah berobah jadi garang, ombak itu kini marah. Digambarkan tubuh ombak itu begitu tinggi telah menyentuh langit dan begitu ganas sehingga membinasakan apa saja yang ditemuinya. Kata penyair,
apakah artinya sajakku ini
 ketika ombak yang kau lukiskan di kanvas biru
tak lagi mendamaikan hatiku
buihnya tak putih lagi membelai tepian
ia telah murka
tubuhnya yang jenjang menyentuh langit
menerkam apa saja

Pada bait berikutnya dilukiskan bagaimana sahabatnya itu dengan setia menolong dan mengobatisuaminya yang sedang sakit.  Memberi bedak pada punggung sang suaminya yang tak lain adalah penyair M.Nurgani Asyik. Sahabat penyair juga  dibayangkan  memandikan dan bercanda dengan anaknya yang masih kecil. Sementara dibayangkan pula sahabatnya itu sedang menyisir rambut si buah hati. Tulis penyair, “
apakah pagi itu engkau masih membedaki punggung suamimu
yang lelah berbaring seharian
memandikan sikecilmu sambil mencandai keningnya yang lucu
atau sedang menyisir rambut keriting gadismu yang ayu
Penyair mengulang kembali baris puisinya “apakah artinya sajakku ini” untuk meyakinkan bahwa puisi tak ada lagi gunanya sementara  jasad seorang sahabatpun tak bisa diterka berada dimana ditengah-tengah mayat  yang rubuh bergelimpangan. Ada yang terjepit ditindih bangunan. Mayat-mayat itu di tumpuk dipinggir jalan terbungkus kantong-kantong hitam. Dalam kesedihan dan kekalutan demikian si aku lirik bertanya dalam hati,
engkaukah yang masih terbaring
diantara tubuh legam, kaku dan kesepian
terjepit diantara puing-puing reruntuhan
engkaukah itu yang dibalut kantong-kantong hitam
ditumpuki dipinggir-pinggir jalan
Yang menyayat hati si aku lirik pula adalah ketika mengingat mayat sahabatnya tak sempat ikut memandikan, “tanpa air terakhir dan kain kafan”.Kesedihan semakin bertambah ketika penyair masih bertanya apakah mayat sahabatnya pelukis Veny, “yang diantar relawan ke tempat pekuburan massal, /ke liang-liang panjang pekuburan/tanpa kutemukan batu nisan”.Pada puisi yang ditulis Deknong, dua minggu setelah bencana tsunami, tepatnya tgl 9-10 Januari 2005 ini penyair juga menggambarkan si aku lirik mencoba menyusuri jalan kerumah sang pelukis,
aku lelah menyusuri lorong-lorong hampa
mencari jejak rumahmu
menemukan sisa-sisa lukisan di dindingnya
atau memungut kuas kecil
saat kau lukiskan ombak itu
Citra manusia yang pasrah kepada kehendak Tuhan tampak pada bait akhir puisi. Sang penyair dengan nada sedih melukiskan si aku lirik hanya bisa memandang ombak dalam lukisan sahabatnya yang sudah tiada. Lalu dengan pasrah melepas sahabat, penyair berzikir dan berdoa,
dalam lukisanmu
dalam ikhlas zikirku ,tahlilku, tahmidku
kumohonkan pada Mu ya Allah
sucikan jasad saudara-saudaraku
yang pulang dalam gemuruh ombak-Mu

Penyair Azhari (lahir 1981) ketika pulang dari luar daerah menyaksikan kampungnya sudah lenyap. Rumah serta ayah bunda serta adiknya sudah tiada. Dalam puisinya “Ibuku Bersayap Merah” penyair melukiskan si aku lirik pulang setelah bencana tsunami ingin melihat orang tua dan saudara serta kampong tapi ditemuinya semua sudah tiada.
Kukira 26 Desember cuma mimpi buruk
tapi tak kutemukan kalian disana
juga Arif kecil yang cerewet
Apa yang dibayangkan penyair setelah pulang dan tak menemukan  orang tua yang dihormati dan adik yang disayangi? Kata penyair,
seperti kalian,kampung kita ternyata sudah tiada
berubah menjadi laut yang raya
lihat ibu ada bangau putih
berdiri dengan sebelah kaki di bekas kamarmu
bangau itu tak bersayap merah
seperti dulu pernah kau ceritakan padaku

Citra manusia yang pasrah pada Tuhan nampak pula pada baris-baris puisi Azhari.

karena aku tahu bangau itu telah memberikan sayap
merahnya buatmu
agar kau peluk Abah dan Dik Nong ke dalamnya. 
Baris-baris sedih yang menjerit dapat ditemui dalam puisi Rendra “Di mana kamu De’Na?” Kepada  De’Na seorang kenalan penyair di Aceh ketika terjadi musibah tsunami bertanya sambil menjerit sedih. Digambarkan pada bencana itu orang-orang berlarian dikejar gelombang yang dahsyat. Disertai pula datangnya gempa merubuhkan gedung-gedung dan membelah jalan raya. Sebagai akibat bencana alam ini dilukiskan manusia menjadi tak berguna, menjadi sampah. Petikannya,
De’Na, hatiku menjerit pilu
Di mana kamu? Bagaimana kamu?
Yang tak bisa kutolak dalam bayangan
Meski mataku terbuka atau terpejam
Adalah gambaran orang banyak berlarian
Dikejar gelombang 23 meter tingginya
Dan lalu gempa yang menenggelamkan  gedung-gedung tinggi
Membelah jalan raya
Menjadi jurang menganga
Ribuan manusia menjadi sampah
Dalam badai

Lagu kematian yang menyayat telah diguratkan penyair Taufiq Ismail dalam baris-baris puisi berjudul “Membaca Tanda-Tanda”. Ketika bencana tsunami terjadi digambarkan cuaca  Aceh berudara mendung dan berwarna abu-abu. Burung-burung kecil yang biasanya berkicau pagi hari pada saat itu tak terdengar lagi bernyanyi. Yang nampak puluhan mayat, bahkan ratusan serta ribuan mayat. Pemandangan yang terhampar dan mengerikan  adalah puing, lumpur, potongan kayu, besi dan bangkai kenderaan.
Apa yang dibawa bencana tsunami? “Tsunami membawa banjir air/air mata”, kata penyair.  Kemudian apa lagi yang terjadi? Sesuatu yang memilukan suara-suara jeritan yang terdengar ditengah alam semesta,

Jeritan anak yang kehilangan ayah
Jeritan ayah yang kehilangan anak
Jeritan isteri yang kematian suami
Jeritan suami yang kematian isteri
Jeritan keluarga yang kehilangan semuanya
Jeritan bangsa yang kehabisan segalanya

Jeritan yang menggema ditengah alam raya itu ternyata bukan hanya antara anak dan ayah, antara ayah dan anak, antara isteri dan suami, antara suami dan isteri, antara keluarga tapi juga jeritan bangsa.
Pada bagian akhir puisi panjang yang ditulis akhir 2004 ini penyair memperlihatkan citra manusia yang pasrah pada Tuhan. Digambarkan kesadaran bahwa betapa banyak dosa dan betapa banyak pula kelemahan. Menjadari itu penyair menggambarkan permohonan harapan, “beri kami kekuatan/untuk bangkit kembali”.

* LK Ara, penyair kelahiran Takengon, Aceh Tengah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar