Sabtu, 26 Februari 2011

Ulasan Novel Seulusoh karya D Kemalawati oleh Djazlam Zainal


SEULUSOH - TIMBAL BALIK HALUSINASI DALAM ETIKA UNIVERSAL
oleh Djazlam Zainal pada 16 Oktober 2010 jam 23:35

Seulusoh ( Lapena, Meret 2006 ) karya De Kemalawati penulis/penyair kelahiran Aceh pada tahun 1965.  Seorang karyawan yang menekuni puisi, esei, opini, cerpen dan novel sebagai genre yang diungguli dan dirapati sejak di sekolah dasar. Sebagai seorang pembaca sekaligus kritikus, saya membaca Seulusoh penuh hati-hati, melihat seluruh perekaman peristiwa yang berlaku. Malah beberapa salah cetak atau salah informasi membuat saya gawat menilainya. Antara yang paling ketara ialah Suelusoh dicetak pada Meret 2006 ( prilim/ ruang dalam muka sampul ) sedangkan novel ( novelet ) siap ditulis pada Meret 2007 ( hal. 123 ) Hal ini amat besar kesannya, novel dicetak sebelum novel siap ditulis. Saya menjurus kepada hal ini bagi melihat kemungkinan  tsunami berlaku. Tsunami berlaku pada 26 Disember 2004, buku dicetak Meret 2006, bermakna tsunami telah berlaku, hingga Prolog ( De Kemalawati. hal. 9 ) bisa ditulis begini, ketika tsunami, ia bersama ibunya dan penduduk kampung tergulung dalam geulombang. Kenapa saya menjurus kepada tsunami dan tarikh-tarikhnya. Ini kerana saya ingin menyentuh bahwa tsunami amat mendasari penciptaan Suelusoh. Ini kedapatan dalam hal. 106,  Bapak berbalik. " Ada skenerio kehancuran terencana. Pertama, kehancuran yang melanda jiwa rakyat negeri kita kerana pemahaman yang berbeda ( GAM - Gerakan Aceh Merdeka ) lalu akan tiba kehancuran kedua saat kehancuran pertama telah mencapai titik jenuh. Kehancuran kedua ialah saat Allah memperlihatkan kebesarannya " ( tsunami - dalam Seulusoh dikatakan gempa bumi dari sudut pandangan bapak yang sudah tentu tsunami belum berlaku )
            Saya rasa hal ini adalah kemampuan yang ingin ditunjukkan oleh watak yang mempunyai six-sence tidak seperti yang selalu berlaku pada penulis Malaysia, Hassan Ibrahim melalui novel Tikus Rahmat ( Animal Farm versi Melayu ) yang ditulis/cetak pada 1963. Dalam novel itu, diperkabarkan akan ada musibah besar kaum-kaum di Malaysia yang akhirnya terjelma 13 Mei 1969, terjadi rusuhan kaum. Begitu juga penyair Latiff Mohidin melalui ' Sungai Mekong ' yang ditulis pada 1 Februari di Vientience yang mengatakan,
 malam ini
 ribut dari utara akan tiba
 tebingnya akan pecah
 airmu akan merah
 dan arusmu akan lebih deras
 dari niagara
 ( Sungai Mekong. hal. 2 K.L 1974 )
            Ribut dari utara akan tiba, adalah penaklukan Vietcong terhadap Vietnam pada tahun 1975. Hal ini saya rasakan mahu ditonjolkan oleh pengarangnya, yang meramalkan bencana akan datang ( dibayangkan hanya gempa ) tetapi Allah menjelmakan tsunami.
            Seluruh Seulusoh, pengarang bertindak sebagai narator ( pencerita ) kepada satu perlakuan/peristiwa dalam dekaman halusinasi. Ia adalah rekaman aku ( sudut pandangan pertama-omniscience ) mengenai Nek Pi'ah, merupakan kerabat terdekat keluarga kami ( Meulu ) sahabat nenekku. Cerita tentang alamat seperti katanya, " kau dengar suara elang kelmarin siang di bubungan rumah Toke Ma'e, bukan? "  " Aku baru saja meilhat tubuhnya. Toke Ma'e digotong oleh si Pi'i dan Houp Tahe. Darah berceceran di sepanjang jalan. Kata mereka dada Toke Ma'e berlubang ditembus peluru ( hal. 17 ) Alamat-alamat inilah yang dijelmakan oleh penulisnya, malah alamat yang lebih besar dengan kedatangan tsunami. Saya menamakan ini sebagai satu etika, iaitu prinsip moral tentang baik buruknya suatu tindakan atau perlakuan. Kerana itu persoalan baik buruk pada dasarnya ialah konsep penting dalam displin seperti etika, teologi, sains, politik dan sebgainya. Filsuf dari pelbagai jurusan pemikiran ( school of thought ) juga mendebatkan hal ini dan kini diperluaskan persoalan etika ini hingga melahirkan seakan teori nilai. Nilai inilah yang cuba ditonjolkan oleh penulisnya sebagai nilai tambah terhadap kemodenan Melayu.
            Seperti ilmu yang diperolehi dari Nek Haji Buleuen tentang rumput fatimah, di mana air rendamannya menjadi seulusoh bagi mempercepatkan kelahiran. Ilmu yang diperolehi dari tanah suci ( melambangkan ilmu yang berteraskan agama Islam ) dikatakan mempercepatkan kelahiran. Kelahiran adalah simbol atau etika tentang suatu kewujudan/kesinambungan kemanusiaan. Dengan seulusoh bayi akan terdorong ke pintu, seperti jemari kekar menguak, memburu... peluru kendali itu melaju memerah selangkangan ( hal. 23 )
            Pengarang sebagai seorang pencerita juga berkisah tentang kakeknya seorang perantau. Kakeknya setelah meninggalkan kampung untuk meladang jauh di belantara Kreung Saba. Kisah kakek inilah menghantui nenek. Sementara ibunya pula seakan telah kehilangan berita ayahnya. Kehilangan perkabaran ayah, melibatkan ingatan cerita nenek tentang Malim Dewa dan Pinang Suasa. Begitulah watak ' aku ' membesar dan menempatkan ceritanya. Aku, watak dalam novel ini dibungkus pembesarannya dengan etika dan adat istiadat Melayu Aceh. Katanya, Toke Ma'e yang menginginkan anaknya menjadi burung dalam sangkar emas terlihat lega. Banta benar-benar jinak dan mulai belajar mengaji, kabarnya ia takut tak dinikahkan kalau tak bisa membaca ayat-ayat suci ( hal. 56 ) Ini cerita nikah yang diperpanjangkan menjadi satu etika kemanusiaan. Dua keluarga toke akan berbesan. Ia menjadi topik bicara orang kampung. Cut Gam, bapakmu mulai jarang di kampung, menitip dirinya di rumah Keuchik Husen, di kampung Pi'i. Toke Ma'e tidak heran Cut Gam kerana fokus ingatannya hanya pada pernikahan Banta Cut dengan Meurahna. " Tapi kenapa akhirnya bapak yang menikah dengan ibu? " tanyain Meulu.
            Ini kisah tragis Melayu. Tragis ini tidak berlaku hanya di Aceh saja malah di seluruh nusantara. Bagaimana urutan marga di semenanjung Tanah Melayu begitu cecer dan ruwet dengan talian marga di seluruh ke pulauan Melayu, Jawa, lebih-lebih lagi di Sumatera. Banta Cut punya banyak isteri. Itu selintingan yang merebak mengenai Banta. Toke Ma'e meminta penjelasan atas gosip tersebut. Banta dengan santun menyatakan, bahawa ia tidak akan menikah tanpa restu dari kedua orang tua. Banta memegang etika Melayu.
            Toke Ma'e adalah pratagonis dalam cerita ini. Tetapi Toke Ma'e didapati mati setelah ada petanda elang melintas bubungan rumah. Apakah Toke Ma'e mati atas penyakit jantung? Atau diracun orang? Meulu terkesima. Kata didengarnya, ketahuilah olehmu bahawa nyawa kita pada dua kutub yang sedangh bertikai. Bagi mereka, menghilangkan nyawa seseorang tak ubah seperti menghilangkan nyawa semut meski ia hanya melintas dan tak menggigit tubuh kita ( hal. 62 )
            Ini adalah kisah perang tanpa wajah tanpa suara. Semuanya senyap sepi, antara susur keluarga dengan dilema di atasnya. Bagaimana keluarga terjadi dalam mempersulitkan gerakan-gerakan militer. Ini halusinasi Meulu. Setelah kecewa dengan segala yang berlaku, ia seperti disalami arwah ayah dan ibunya yang mengkabar banyak hal dan kemudian usai begitu saja. Mereka melambai-lambai tangan padaku dan melangkah menjauh sambil berganding tangan ke tempat yang lebih tinggi ( hal. 106 ) Di halaman epilog dirumus segala halusinasi setelah diobrak-abrik tsunami. Ia adalah suatu tragedi gempa manusia yang sembari dalam cikcok polah manusia serigala. Rakyatlah mangsanya disebabkan semua tragedi petualangan itu. Pengarang telah menyampaikan.
            Suelusuh diangkat daripada sebuah cerita pendek ( cerpen ) ia diperpanjangkan menjadi novel ( saya kira novelet ) dengan cerita yang lebih menjurus dan almanak terungkai dalam tesis yang lebih panjang. Pengarang menyelesaikan dalam satu nafas, tidak berbagi dalam chapter ( bab ) Pembaca seakan diasak dan dipandu ke halaman epilog tanpa mahu diberikan istirahat. Begitulah pengarang mahu pembacanya merasai segenap degup dan gejolak dan rasa yang terperam oleh pengarangnya. Dan ia dirasakan minimal dan saya merasakan begitu.
            Sebagai sebuah karya barangkali elok pemecah ini berbagi. Walau pun tiada diadakan chapter, tetapi kelompok harus dipikirkan. Prolog, sintesis, tesis, antitesis dan epilog. Saya katakan begitu kenapa, ia adalah ruang lingkup bagi pengarang mengumpul data-data dan memperhalus apa yang diperlukan pada tempat muasalnya. Kelompok itu bagi memudahkan pengkaji. Saya mengatakan Suelusuh sebagai sebuah novelet bukan kerana tipisnya ( hanya 124 halaman  ) tetapi kerana ceritanya hanya satu arus iaitu halusinasi sebabak kemudian diraut dengan epilog di akhir cerita yang menandakan bahawa seluruh cerita dan peristiwa adalah halusinasi watak ketika dalam koma sebaik dihentam tsunami. Pengarang juga kelihatannya cukup berhati-hati untuk membenahkan peristiwa GAM - Gerakan Aceh Merdeka yang dianggap sulit dan berbahaya. Begitu juga dengan tsunami, apakah ia kemurkaan Allah atau satu mukjizat yang tak dapat kita tebak maksudnya. Tetapi dengan terzahirnya rundingan meja bulat pemerintah dengan pembebasan Aceh ( Hassan Tiro di Stockholm ) saya kira ia adalah rahsia Allah di sebalik tsunami. Kini Aceh dalam luka menuju sembuh. Mahu jadi apa Aceh selepas ini, rakyatlah yang akan menentukan. Pengarang, penyair dan para aktivis sosial telah menenggala dan membeber citra Aceh selepas tsunami. Untuk para penguasa dan bapak bupati bertindaklah secara tidak celaka. Carilah batil emas a.k.a al-Quran dan hadis sebagai sumbunya. Insya Allah akan menyala kembali Aceh sebagai serambi Makkah ' yang bersinar ' dan melemparkan rencong yang tersisa darah tempur.

*Djazlam Zainal, kritikus sastra, tinggal di Melaka
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar