Senin, 28 Februari 2011

TRAGEDI ACEH DALAM KARYA PUISI PEREMPUAN PENYAIR ACEH



Oleh LK Ara


         Tragedi kemanusiaan di Aceh telah mendorong para seniman menggoreskan penanya untuk melahirkan karya yang abadi. Para penyair Taufiq Ismail, Rendra, D. Zawawi Imron, Hamid Jabbar, Danarto, Ikranegara, -untuk menyebut beberapa nama- telah melahirkan puisi yang menyentuh. Pengarang cerpen Hamsad Rangkuti, Motinggo Busye, Helvy Tiana Rosa telah menelorkan cerpen bertema tragedi Aceh. Pengarang drama Ratno Sarumpaet telah pula menciptakan LIA sebuah naskah lakon yang sungguh pekat mengisahkan tragedi kamanusiaan di Aceh.

           Beberapa perempuan penyair telah pula tergerak hatinya untuk melukiskan tragedi kemanusiaan di Aceh dalam karya puisi. Mereka adalah D. Kemalawati dan Rosni Idham.

          Perempuan penyair D. Kemalawati yang memiliki nama akrab Deknong, yang lahir di pantai barat, tepatnya di Kota Meulaboh, Aceh, 2 April 1965 menulis puluhan puisi yang betema tragedi kemanusiaan di Aceh. Deknong merupakan salah seorang perempuan penyair Aceh yang sangat produkstif. Beberapa diantaranya adalah, “Daraku Mabuk Sendiri”, “Kelu”, “Kelu II”, “Merajut Gundah dalam Ribut Badai”, dan “Menanti Hujan”.

          Pada puisi “Daraku Mabuk Sendiri” penyair menggambarkan secara pantastis dara menari diatas awan. Namun pada kaki dara yang menari itu ada cendawan yang meracuni. Dilukiskan sang dara memang sedang mabuk sendiri. Ia menguap, ia mengasapi sekolah abu, dan dara itu juga merintih. Petikannya,

menari diatas cawan
cendawan meracuni kaki
dara ku mabuk sendiri, menguap berkali-kali
belia tanpa canda membakar kembang ungu
mengasapi sekolah abu
dalam rintih yang tertindih

         Pada baris-baris berikutnya penyair melukiskan sang dara berada ditempat orang bermain kupu. Sebagai layaknya kupu ia dengan leluasa bisa terbang dan itu dilakukannya sebelum kakinya dinodai cendawan. Kata penyair, “dara ku mabuk sendiri/ ini 'kahyangan' tempat peri bermain kupu/ia ikut terbang melayang sebelum cendawan/menghitamkan kakinya”.

         Selaras dengan kisah dara yang menari, penyair mempunyai kesempatan memasukkan nama jenis tarian Aceh dalam puisinya seperti, ‘Laweut’ dan ‘Ratoh’. Lalu penyair membayangkan kini tarian Laweut terkubur dihutan sepi. Karena tarian itu tak lagi dipagelarkan. Berbeda ketika keadaan aman tarian itu sering ditampilkan dalam berbagai acara misalnya pesta perkawinan, pada hari-hari besar kenegaraan. Begitu juga dengan tari Ratoh tak lagi dapat disaksikan.

kini 'laweut'nya terkubur dihutan sepi
'ratoh'nya mengambang di ketiak pelangi
'siluet' panjang renjana merajah mimpi
ah, dara ku mabuk sendiri
membelit seribu mentari

Banda Aceh, Mei 2003
(dari “Aceh Dalam Puisi”)
       Dalam sajak “Merajut Gundah Dalam Ribut Badai” dilukisan betapa perasaan gundah itu menyiksa. Digambarkan tangan orang yang gundah yang mengait benang tak kunjung terkait, karena perasaan gundah yang terus menerus mendera. Kata penyair, /tangan terus mengait/benang tak kunjung terkait/badai terus gemuruh/riuh tak kunjung berhenti “.

       Kini keadaan semakin parah, bukan hanya orang yang gundah tak dapat mengait benang, tapi juga telah karam di pusaran. Ya, seorang tua renta yang bekerja merajut selimut tak mencapai hasil karena benang yang dipakai basah dan melekat pula digulungannya. Untuk sang tuaa merajut selimut ? Tak lain untuk bocah busung yang diusung tengah malam. Melihat keadaan sang bocah si tua menarik benang untuk meneyelesaikan pekerjaannya meskipun tangannya berdarah. Puisi ini menggunakan simbul-simbul alam yang dekat dengan masyarakat luas, seperti, laut, benang, selimut, sehingga mudah difahami. Sajak ini ditutup dengan bait,

laut dalam pusaran
mata dalam pinangan
salam dalam kepungan
bocah busung di persimpangan

Banda Aceh, Agustus 2003

       Deknong berteater sejak SMA bergabung dengan Teater Desir Kota Meulaboh. Semasa kuliah di FKIP Unsyiah Banda Aceh bergabung dengan Teater Improvisasi Banda Aceh pimpinan Hasyim KS dan pernah memerankan tokoh "Miranda" dalam drama "Eksekusi" karya Anton Chekov tahun 1989. Salah seorang lawan mainnya, Helmi Hass, wartawan yang juga seniman, akhirnya mempersunting dirinya tiga tahun kemudian. Selain di Aceh, Deknong juga pernah melakukan pementasan di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta.

       Alumnus FKIP Matematik Unyiah ini, semula bertugas sebagai guru SMEA Negeri Meulaboh dan sejak 1 Oktober 1993, pindah ke Banda Aceh dan bertugas di STM Negeri (SMK Negeri 2) Banda Aceh. D Kemalawati, selain sebagai pendidik, lebih memfokuskan diri pada dunia sastra. Terutama menulis puisi, cerpen dan artikel budaya. Karya-karyanya disiarkan dalam media massa, di Aceh, Medan dan Jakarta.

       Puisinya terdapat dalam antologi puisi “Nafas Tanah Rencong” bersama Pertiwi Hasan, “Dendam Air Mata”, “Musim Bermula” (bersama Penyair Wanita se-Sumatera), “Aceh Mendesah Dalam Nafasku” (bersama penyair Indonesia), “Seulawah” (1995), “Keranda-Keranda” dan antologi puisi “Kemah Seniman Aceh” dan “Aceh dalam Puisi” (2003).

ROSNI IDHAM
       
       Penyair Rosni Idham pernah mendapat pujian dari A.Hasjmy. Hal ini terjadi ketika berlangsung acara Muzakarah Pengembangan Pantai Barat. Dalam acara itu Rosni Idham membaca puisi karya sendiri berjudul “Teuku Umar Pahlawan”. Sebuah sajak bernafas kepahlawanan.

       Ketika terjadi konflik di Aceh, Rosni sebagai salah seorang perempuan penyair terkemuka di Aceh menulis “sekerangjang puisi”. Sebagian kecil dimuat dalam buku “Aceh Dalam Puisi” (Pen. Syaamil , 2003). Yakni, “Begitu Lelapkah Tidurmu”, “Kepada Ibu”, “Negeri Terluka”, dan “Negeri Terluka II”.

       Dalam puisi “Negeri Terluka” agaknya dari judulnya saja orang bisa maklum bahwa sajak itu akan mengisahkan derita sebuah negeri. Dan betul saja baris awal sudah menggambarkan darah mengalir. Lebih dahsyat lagi darah itu mengalir dari setiap lobang roma.. Begitulah baris berikutnya melukiskan bukan hanya darah tapi juga nanah mengalir disetiap rongga jiwa. Oleh itu semua maka air dan tanahpun dilukiskan diwarnai darah dan nanah. Apa yang terjadi dengan luka? “Luka kian menganga”. Akibatnya kini luka itu menebarkan bau busuk. Dan bau busuk pun tersebar ke rumah-rumah tetangga. Apa daya mengobati ini? Sudah diusahakan penawar namun yang luka belum sembuh juga. Menyadari ini semua penyair merasakan yang terluka adalah dirinya juga. Bukankah penyair bagian dari masyarakat. Bila terluka sebuah negeri dan masyarakatnya maka penyair ikut berasakannya. Dan puisi merupakan ekspressinya,

Luka kian menganga
Menebarkan bau busuk
Ke rumah-rumah tetangga
Beragam penawar tak sembuh jua

Ah........
Negeriku terluka
Lukamu lukaku jua
Lukamu luka kami semua
       Berbeda dengan puisi “Negeri Terluka” dalam sajak “Begitu Lelapkah Tidurmu” ada semacam pertanyaan yang sekali gus mengugat. Pada bagian awal segera timbul pertanyaan ‘begitu lelapkah tidurmu.

       Pertanyaan ini timbul karena keadaan sekitar sudah berobah. Rumah dan gedung terbakar. Ribuan jumlahnya. Kaum lelaki ribuan juga banyak pergi tak pernah kembali. Anak yatim hadir ribuan pula jumlahnya. Begitu juga kaum perempuan tak sedikit menjadi janda. Meski kejadian demikian dahsyat terjadi sekitar kita namun masih ada yang belum terjaga, yang peduli pada keadaan itu.

       Lanjutan puisi itu berkisah tentang prahara yang terjadi dan mendera. Bayangkan hak hidup ditindas dan dirampas. Belum lagi harta benda yang diambil, dirampas. Dan itu semua dilakukan dengan tak merasa belas sedikitpun. Kejadian ini terus menerus berlangsung. Kepada siapa diadukan dan dituntut?

sejuta prahara mendera memelas
hak-hak hidup ditindas dirampas
harta benda tak henti dikuras
tanpa rasa belas
kemana hendak menuntut balas
selalu tak jelas
sungguh tak jelas

adakah mega hitam
membungkus kekar dadamu
menghalang pandang menjerat langkah
mengatup mulut membungkam lidah
adakah yang menangguk di keruh teluk
mengancam menunduk angguk
       Pada bagian akhir puisi ini penyair memperlihatkan bahwa kita sama. Kita bersaudara. Jadi mestinya tidak saling menodai. Bahkan kita harus saling membantu karena ‘kita lahir dari rahim yang sama’ yakni rahim Ibu Pertiwi. Dan untuk menjalin dan membuhul tali kebersamaan itu harus diciptakan sama rasa sama cita-cita meski warna pakaian kita berbeda-beda.

       Rosni Idham lahir tgl 6 Maret l953, di desa Sawang Mane, Aceh Barat. Pernah sekolah pada PGAN 6 tahun di Meulabuh, kemudian bekerja sebagai guru agama . Pada tahun l975 -l979 bekerja sebagai staf Humas Pemda Aceh Barat. Selama 5 tahun (l980-l985) ia menjadi staf Seksi Kebudayaan Kandep Dikbud Kebupaten Aceh Barat. Kemu¬dian pindah ke Sanggar Belajar (SKB).

       Ia mulai menulis sejak l978 berupa puisi, cerpen dan esai. Karyanya dimuat diberbagai harian yang terbit di daerah dan ibukota. Juga sering disiarkan melalui radio Pemda Aceh Barat. Sebagai seniman ia juga menghadiri pertemuan budaya antara lain, 'Dialog Utara IV' di Medan, 'Dialog Utara V' di Malaysia, 'Dialog Utara VI' di Langsa, Aceh, 'Porum Puisi Indonesia' di Jakarta.

       Selain sebagai penyair yang tampil membacakan puisi diberba¬gai pertemuan budaya, Rosni juga dikenal luas sebagi MC. Terutama di Aceh Barat. Begitulah ketika acara Muzakarah Pengembangan Pantai Barat Selatan dibuka Menkop Bustanil Arifin SH, Rosni dengan suara yang khas bertindak sebagai MC. 

*LK Ara, penyair tinggal di Aceh dan Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar