Jumat, 25 Februari 2011

REFLEKSI AKHIR TAHUN PENYAIR D KEMALAWATI

Catatan Dimas Arika Mihardja

SETIAP penyair senantiasa melakukan introspeksi atas segala hal ikhwal perjalanan kreatifnya. Setiap jejak kaki karya-karya yang diciptakannya merupakan manifestasi upaya melakukan rekreasi batiniah dalam rentang panjang perjalanan spiritualitasnya. Penyair D Kemalawati, sebagai penyair kreatif dan produktif karya-karyanya merefleksikan pandangan dunianya (world view) terhadap setiap aspek hidup dan kehidupan manusia. Setiap manusia menapaki tahap-tahap perjalanan dari lahir, tumbuh-berkembang, menjadi tua, dan akhirnya menapaki jalan panjang keabadian. Setiap penyair, termasuk D Kemalawati, menghadapi pergantian tahun seakan-akan berada di tapal batas di antara pergi dan kembali, antara ada-berada dan ada-mengada, antara dunia realitas dan imajinasi yang bebas tanpa batas. Hal ini tergambar, terekam, dan terpapar dengan indahnya dalam sajak-sajak pendek yang diumumkan melalui facebook tanggal 30 Desember 2010. Tulisan sederhana ini dimaksudkan turut melacak jejak kreativitas penyair D Kemalawati di penghujung tahun 2010 yang menurut pembacaan dan pemaknaan saya syarat dengan refleksi pemikiran yang dibuahkan dari pengalaman empiris melakukan perjalanan fisik dan psikis.

Puisi pertama yang diberi titel "Pulang", menggambarkan kisah perjalanan fisik pulang dari satu tempat ke tempat lain. Perrjalanan fisik yang dilakukan oleh penyair kreatif D Kemalawati ini lalu membuahkan pengembaraan batin mengenai perjalanan pulang ke dunia keabadian. Kita simak selengkapnya sajak pendek bertajuk "Pulang":

PULANG
D Kemalawati

ini terompet terakhir
mesin menderu
orang-orang berburu ke dalam
menuju gelombang

Balohan, 30 Desember 2010

Sajak pendek (padu-padat) yang digubah di Balohan ini menurut pembacaan dan pemaknaan saya memiliki usia yang panjang. Pendek ungkapan, tetapi memiliki dan menawarkan refleksi pemikiran mendalam tentang perjalanan pulang. Gambaran pulang secara fisik dan batiniah dapat berjalin berkelindan di dalam sajak yang padu-padat-liat dan kenyal ini. Refleksi pemikiran mengenai isyarat sesuatu yang berakhir terdedah dengan simbolisasi terompet: "ini terompet terakhir". Pengungkapan "ini terompet terakhir" selain memberikan gambaran lugas, juga  mengandung kias. Secara kias, "terompet terakhir" mengarah ke sangkakala yang ditiup sebagai penanda hari kiamat. Sebelum kiamat tiba, konon, malaikat meniup terompet yang mengumumkan hari terakhir (kiamat) telah tiba. Diksi "terompet" juga mengimajinasikan suara 'terompet' yang keluar dari pelabuhan sebagai penanda kapal akan segera berangkat, mesin menderu, orang-orang berburu masuk ke dalam lambung kapal untukmenuju gelombang.

Penyair D Kemalawati dengan cerdik membaurkan makna lugas, kias, dan perlambangan di dalam puisi berjudul "Pulang". Kecerdikan penyair yang ditopang oleh sensitivitas perasaannya dan ketajaman intuisinya itu mampu melahirkan refleksi pemikiran tentang perjalanan kembali (baik secara fisik naik kapal, maupun secara spiritual sebagai gambaran "kembali ke alam keabadian"- kematian). Sosok kapal sebagai simbolisasi badan manusia, dan "gelombang" batin, jiwa, emosi teraktualisasi secara padu-padat dengan diksi-diksi yang efektif memberikan gambaran (juga pekabaran) tentang perjalanan menuju pulang. Puisi yang tidak hanya indah, melainkan terasa menggugah. Perjalanan pulang telah dan tengah berlangsung antara Balohan menuju Ulee Lheu, seperti dengan cantik terdedah pada puisi kedua berikut ini:


ANTARA BALOHAN ULEE LHEU
D Kemalawati

pintu tertutup rapat
dalam ayunan rumah besi
bersama arus yang terbelah
laju hidup terus bertambah

Bahari Ekspres, 30 Desember 2010

Pintu (kapal) telah tertutup rapat. Penumpang dalam ayunan kapal yang terombang-ambing bersama arus yang terbelah dan terasa laju hidup terus bertambah. Parafrase serupa ini penting untuk menangkap gagasan dasar penyairnya. Lantaran puisi itu lebih mengarah pada penyampaian "berita pikiran, kisah batin, dan perenungan", maka parafrase yang lebih mengarah ke makna lugas itu menjadi penting sebagai pangkaltolak mengungkapkan makna kias puisi. Secara lugas, pintu kapal telah tertutup rapat, penumpang lalu diayun gelombang. Kapal yang melaju itu tampak membelah arus dan pada lajunya terasa hidup bertambah gairah. Selanjutnya, judul puisi ini menggunakan kata "antara", tentu menunjukkan jarak yang harus ditempuh dari Bolahan ke Ulee Lheu, yang secara kias bisa saja mencerminkan gambaran perjalanan dari dunia ke alam baka. Sekali lagi, dalam puisi "Antara Bolahan Ulee Lheu  ini, penyair D Kemalawati menampilkan kecerdikan,kecerdasan, dan kepekaan batinnya lalu menuangkannya ke dalam puisi yang padat-padu serta didukung pemilihan diksi yang efektif dan efisien. Di tengah perjalanan dari suatu tempat ke tempat lain (Bolahan ke Ulee Lheu) ditemukan peristiwa-peristiwa kehidupan yang menegangkan dan memprihatinkan.

Imajinasi ketegangan dapat kita baca pada puisi "Sayonara di Gurun Koteka" yang selengkapnya disajikan berikut ini:

SAYONARA DI GURUN KOTEKA
D Kemalawati

lelaki bersarung koteka mengokang senjata
lelaki mata biru terpana
lubang menganga di dadanya
gagap dunia mengirim tanya

Bahari Ekspres, 30 Desember  2010

Puisi "Sayonara di Gurun Koteka" lebih menampilkan gambaran "dunia laki-laki" yang identik dengan kekerasan. Digambarkan dalam puisi ini: lelaki bersarung koteka mengokang senjata/lelaki mata biru terpana/lubang menganga di dadanya/gagap dunia mengirim tanya". larik-larik puisi ini yang membubuhkan diksi "koteka", "lelaki mata biru", "lubang di dada", dan "gagap dunia mengirim tanya" merefleksikan persoalan besar di dunia: konflik, perang, permusuhan, persaaingan, dan pamer kekuatan menjadi dunia laki-laki yang mengaktualisasikan dunia kekerasan. Dunia kekerasan, kesewenang-wenangan, pamer kekuatan, unjuk kemampuan diri, ketidak adilan, dan aneka pertanyaan mewarnai di sepanjang kehidupan. Kehidupan yang begitu keras dan menegangkan itu, merupakan sebuah dunia yang mengundang tanda tanya. Di sinilah kecerdikan penyair D Kemalawati: untuk mengimbangi dunia kekerasan serupa itu segera disusulkan puisi "Rumah Jerami di Laut Ombak". Kita baca selengkapnya "Rumah Jerami di Laut Ombak":

RUMAH JERAMI DI LAUT OMBAK
D Kemalawati

rumah jerami
kubangun di arus biru
lantainya gelombang
berhias batu karang
ikan, teripang dan kuda garang
kuberikan ruang untuk berenang
di ruang tumbuh yang lengang
hijau rumput laut meniru sujud dedaunan

Bahari Ekspres, 30 Desember 2010

Di Rumah Jerami (rumah yang mudah terbakar) secara imajinatif hadir "di laut ombak" (ombak kehidupan). Di rumah serupa itu setiap orang diberikan keleluasaan dan bahkan kemerdekaan, dan di dalam rumah itu juga ruang yang tumbuh untuk berenang ke ruang lengang serupa hijau rumput laut meniru sujud dedaunan. Wow, di dalam rumah yang dilukis oleh D Kemalawati ini amat beragam dan dalam komposisi serasi, selaras, dan seimbang sehingga membuahkan keindahan refleksi. Akhir refleksi perjalanan akhir tahun, penyair D Kemalawati menyuguhkan puisi pamungkas berjudul "Dermaga Ulee Lheu" seperti ini:

DERMAGA ULEE LHEUE

merapat pelan
mesin dimatikan
orang-orang bergegas
meninggalkan gelombang

Banda Aceh, 30 Desember 2010

Gambaran akhir perjalanan fisik dan batin tersaji secara reflektif dalam puisi ini. Terasa benar ada kelembutan, kehalusan, ketenangan, dan kematangan perenungan. Lima puisi penyair D Kemalawati, tak pelak lagi dengan sangat istimewa menyuguhkan refleksi pemikiran dan perenungan tentang keberangkatan, perjalanan, rintangan di jalan, dan diakhiri dengan merapat di dermaga: "merapat pelan/mesin dimatikan/orang-orang bergegas/meninggalkan gelombang". Lima puisi pendek atau menurut saya puisi yang padat-padu karya D Kemalawati memberikan isyarat, pertama, penyair D Kemalawati tergolog penyair yang tidak hanya cerdik, cerdas, melainkan juga memiliki sesitivitas perasaan yang tajam. Kedua, puisi-puisi yang dihasilkannya (barangkali secara konsep ditulis di handphone lalu dipublish melalui facebook) ini menunjukkan bahwa kemajuan teknologi jika dimanfaatkan dengan baik dan tepat dapat menopang keberhasilan seorang kreator. Media komunikasi dan teknologi komunikasi tampaknya dapat mendukung proses kreatif seorang penyair dalam melahirkan puisi-puisi yang tak hanya jatuh pada puisi sampah, melainkan puisi-puisi yang mengandung nilai filosofis, etis, edukatif, dan religius yang membius. Ketiga, D Kemalawati menunjukkan contoh bagaimana seorang penyair memperoleh bahan bagi puisi-puisinya melalui "catatan perjalanan" yang mengesankan. Keempat, sajak-sajak karya D Kemalawati yang tergolong pendek (padu-padat) tampaknya akan berusia lebih panjang dan bahkan mungkin abadi sejauh para pembaca berkenan memaknainya terus-menerus. Kelima, sebuah pembacaan dan pemaknaan sajak oleh pembaca kiranya dapat membuahkan banyak makna. Demikian, salam sastra.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar